Rabu, 16 Desember 2009
Nasionalisme
Oleh Ismatillah A Nu'ad
My nationalism is humanity, Gandhi
Paham kebangsaan (nasionalisme) sebagai ideologi, telah diperkenalkan oleh para pendiri bangsa ini paling tidak sejak 6 dekade silam. Awalnya, konsep itu bersifat praksis digunakan sebagai instrumen untuk menyulut sentimen mengusir penjajahan (kolonialisme). Namun dalam perjalanannya, selama rentangan itu pertumbuhannya tak bisa dirasakan lagi secara praksis.
Di tengah kegelisahan, manakala banyak muncul problematika kebangsaan, menumbuhkan rasa kebangsaan yang dipahami secara praksis mungkin akan dapat membantu memulihkan identitas dan karakter bangsa ini. Ideologi nasionalisme dalam masa sekarang, misalnya, digunakan seiring untuk menyukseskan tuntutan-tuntutan reformasi yang belum tuntas, seperti pemberantasan KKN, pemulihan ekonomi, supremasi hukum, penegakan HAM dan menciptakan clean and good government.
Ada dua kemungkinan mengapa pengalaman kebangsaan itu menjadi tak tersadari atau tak terjaga. Pertama, boleh jadi orang yang berpendidikan, yang mengerti tentang konsep kebangsaan dan minimal pernah terselip dalam otaknya tentang wacana kebangsaan, namun ketika pengalaman kebangsaan itu teraktualisasi, ia tak merasa bahwa pengalamannya merupakan bagian dari praksis kebangsaan. Kedua, orang yang tak mengerti sedikit pun tentang konsep kebangsaan, biasanya identik ditujukan pada orang yang tak berpendidikan. Dataran itu, pengalaman kebangsaan yang dialaminya tak terjaga karena memang dia tak tahu bahwa hal itu merupakan bagian dari praksis kebangsaan.
Sesungguhnya, pengalaman kebangsaan yang disadari oleh seseorang, merupakan nilai moral yang sangat berarti bagi perjalanan panjang sebuah bangsa. Apalagi jika pengalaman itu kemudian membentuk satu kekuatan psikologis dalam diri seseorang, yang akhirnya diaktualisasi secara praksis. Misalnya, jika pengalaman kebangsaan itu disadari oleh seorang pegawai di lingkungan pemerintahan, paling tidak ia bisa menghindari praktik-praktik korupsi dan bentuk penyelewengan lainnya, karena besar ataupun kecil, secara moral tindakan manipulasi tetap merugikan negara dan bangsa.
Ada beragam pengalaman kebangsaan yang mungkin dapat menumbuhkan (baca: rebuilding) rasa nasionalisme Indonesia yang katanya "Unity in Diversity" itu. Dalam arti, nasionalisme di situ dapat dirasakan secara kultural dan dapat diaktualisasi secara praksis impresinya bagi kepentingan negara-bangsa.
Pertama, pengalaman kebangsaan dilihat secara sosiologis-antropologis. Kita melihat, misalnya, beraneka ragam corak sosial-antropologis yang dimiliki bangsa ini. Ada klan (etnik, suku bangsa, persekutuan) Jawa, Sunda, Betawi, Banten, Bali, Padang , Batak, Bugis, Makassar, Madura, Ambon , Aceh, Papua, dan lain-lainnya. Semua klan itu, baik secara komunal di daerahnya masing-masing maupun di tingkatan nasional yang sudah berbaur satu dengan lainnya, merupakan ciri khas sosial-antropologis kebangsaan Indonesia . Klanisme kemudian tak malah menjadi sebentuk nasionalisme-etnik yang sangat komunal dan membahayakan bagi nasionalisme itu sendiri. Beragam klan dalam tubuh suatu bangsa, merupakan potensi, yang semestinya diaktualisasi supaya menjadi bangsa yang besar
Ditambah lagi dengan klan pendatang, namun secara geneologis sudah merupakan satu paket (include) dalam tipe sosial-antropologis bangsa ini. Seperti ada klan Arab dan Cina. Dua klan yang sudah mendarah-daging, dan tak bisa dipisahkan dengan klan-klan asli kebangsaan ini. Secara geneologis, "klan asing" yang berhubungan dengan kondisi sosial-antropologis bangsa ini awalnya paling tidak karena dua hal (terutama klan Arab). Pertama, karena kepentingan dagang, atau kepentingan ekonomi. Kedua, karena kepentingan dakwah agama.
Kedua, pengalaman kebangsaan dilihat secara kultural/kebudayaan. Hal mana, setiap klan, etnik atau suku bangsa dalam dimensi sosial-antropologis itu, memiliki kekayaan kebudayaan yang harus dilestarikan. Kebudayaan itu merupakan cerminan untuk melihat dan meneropong lebih jauh rasa nasionalisme. Seperti ada Lenong dan Ondel-ondel dari Betawi, ada Debus dari Banten, ada tarian Saman dari Aceh, ada tari Kecrek dan Barong dari Bali, ada 'lompat batu' dari kepulauan Nias, dan sebagainya. Semua kebudayaan itu merupakan ciri khas nasionalisme Indonesia yang mesti tetap tertanam. Sehingga dapat menumbuhkan rasa kecintaan terhadap bangsa dan tanah air.
Ketiga, pengalaman kebangsaan dilihat dari segi kekayaan pariwisata. Kita melihat Indonesia memiliki lokasi-lokasi strategis yang eksotik, indah dan menawan. Juga, keindahan Pulau Dewata, Pulau Lombok yang eksotik, bangunan Candi Borobudur dan candi-candi lainnya di Jawa Tengah, dan sebagainya. Sesungguhnya lokasi-lokasi itu dapat memberi spirit nasionalisme, rasa kepemilikan terhadap tanah air. Kekayaan alam serta keindahan yang ada di dalamnya dan peninggalan-peninggalan bangunan cagar-budaya, semua "nomenklatur" keindahan itu harus dijaga, karena dapat menumbuhkan spirit nasionalisme.
Menumbuhkan rasa kebangsaan, di alam modernitas-globalitas, tentunya sangat signifikan. Globalisasi dalam berbagai bentuknya, tentu sedikit demi sedikit, sudah melunturkan rasa nasionalisme dan rasa kepemilikan terhadap tanah air. Ia sudah menggerogoti identitas sosial-antropologis dan kebudayaan. Kita, misalnya, melihat di kalangan kaum muda, dimana trend-trend budaya pop (pop culture) yang ditawarkan kebudayaan-global, diterima taken for granted, seakan-akan tak punya konsekuensi yang paling fundamental bagi nasionalisme itu sendiri.
Nasionalisme dengan beragam derivasi di atas, merupakan karakter yang tak boleh hilang. Ia merupakan identitas yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, karena justru di alam modernitas-globalitas, identitas nasional itu menjadi penting. "Kita tak boleh ditenggelamkan oleh raksasa-raksasa global," kata Mochtar Lubis dalam Tajuk Indonesia Raya pada akhir dekade 1960-an, yang ketika itu penguasa Orde Baru hingar-bingar menjajal kebijakan deregulasi ekonomi.(Mallarangeng: 2002). Identitas merupakan modal, dan pasang atau surutnya suatu bangsa di alam modernitas-globalitas, justru mempertanyakan sejauh mana identitas itu dijaga atau ditinggalkan. Percaya pada identitas kebangsaan sendiri atau mengekor dalam kedigdayaan bangsa-bangsa lain. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar