Senin, 14 Desember 2009
Amerika Latin: Benua Pasang Revolusi!
Saat ini adalah sebuah momentum ketika kaum kiri mampu menciptakan alternatif, menjadi kaum kiri yang konstruktif, bukan yang destruktif. (Marta Harnecker, 10 Januari 2005)
Perkembangan Amerika Latin (selanjutnya disingkat: AL) sebagai “benua revolusi” saat ini, seperti pernyataan Fidel Castro telah menjadi basis penting bagi perubahan peta politik dunia di abad 21. Proses perubahan-perubahan politik di sejumlah negeri di AL sekaligus mengindikasikan kegagalan ideologi neoliberal dan awal kekalahan imperialis AS. Capaian Revolusi Bolivarian Hugo Chavez telah menjawab persoalan-persoalan mendesak rakyat diluar syarat-syarat kapitalisme, sekaligus menjadi inspirasi bagi konsolidasi gerakan melawan imperialisme di seluruh AL.
Saat ini, tiga per empat kawasan, atau 300 dari 365 juta penduduk AL, dipimpin oleh pemerintahan-pemerintahan ‘kiri’ dengan berbagai macam spekturmnya. Mereka terpilih dan berkuasa karena janji melepaskan negeri mereka dari jerat imperialisme.
Perkembangan ini makin mengenalkan AL sebagai mata air referensi pengalaman revolusioner modern yang tiada habisnya, sejak usai perang dingin. AL adalah kawasan Dunia Ketiga yang pertama kali berjibaku dengan neoliberalisme. Di kawasan ini pula, varian-varian ideologi kerakyatan berkembang dinamis, mulai dari teologi pembebasan sampai filosofi pendidikan yang membebaskan (Paulo Freire), dari Revolusi Rakyat bersenjata hingga Revolusi Bolivarian. Berpijak dari sini, kami menyajikan sebuah ulasan singkat tentang perkembangan di AL, pada segi ekonomi politik dan gerakan rakyatnya.
Manfaatkan Ruang Demokrasi (Lahirnya Pergolakan-Pergolakan)
Dua dekade pelaksanaan agenda neoliberalisme di AL dan satu dekade terakhir berbuah krisis, berdampak pada kerusakan ekonomi negeri-negeri di region ini. Tak beda dengan di Indonesia, kelas yang paling berat menanggung dampak kerusakan ekonomi tersebut adalah rakyat miskin, buruh, petani, pedagang kecil, serta pengangguran. Dan bagian masyarakat termiskin di anak benua ini adalah masyarakat suku asli Indian yang semakin tersingkir di bawah ekonomi neoliberal.
Situasi obyektif ekonomi ini didukung oleh faktor pengalaman perjuangan yang tak berjeda. James Petras menggolongkan perjuangan rakyat di AL ke dalam tiga gelombang gerakan dengan bentuknya masing-masing. Gelombang pertama pada fase 1970-an sampai pertengahan 1980-an, adalah era gerakan sosial baru, yang ditandai dengan kelahiran gerakan-gerakan lingkungan, feminis, hak asasi manusia, gerakan etik, dan LSM. Gelombang kedua sejak pertengahan 1980-an sampai saat ini, diwakili oleh gerakan tani dan buruh di pedesaan yang beroposisi terhadap neoliberalisme. Dan gelombang ketiga adalah gerakan yang berbasis di perkotaan, diwakili oleh kelas buruh industri dan kaum miskin kota. Kemajuan ini dicapai berkat keberhasilan gerakan memanfaatkan ruang demokrasi untuk meluaskan pengaruh politiknya.
Dalam kurun waktu lima tahun, setidaknya terjadi sepuluh kali pergolakan massa (uprising) berskala besar yang melibatkan jutaan rakyat secara aktif. Beberapa pergolakan yang bisa disebut di sini antara lain, di Venezuela tahun 2001 (untuk menggagalkan kudeta terhadap Chaves yang disponsori AS), di Argentina (2001), di Peru (2002), Bolivia pada tahun 2000, 2003 dan 2005, serta di Ekuador pada tahun 2000 dan 2005. Dalam waktu sepuluh tahun, empat belas presiden telah disingkirkan oleh pergolakan rakyat tersebut. Jumlah ini hanya mewakili ribuan aksi lainnya yang terjadi di seluruh AL, dan dalam kurun waktu yang lebih panjang, dengan kualitas tuntutan yang terus meningkat.
Krisis dan pergolakan rakyat ini berpengaruh luas terhadap kesadaran kolektif rakyat, bukan hanya di negeri yang bergolak namun juga menyebar sampai ke seluruh negeri di kawasan ini. Setiap kabar dari negeri tetangga menjadi perhatian luas rakyat di sekitarnya.
Arah Angin Revolusi
Ini adalah pertanyaan besar bagi semua kalangan yang mengikuti perkembangan di AL dari luar. Kekuatan kiri berharap perubahan yang sedang terjadi terus menjauh dari pengaruh-pengaruh neoliberal, terutama dengan dimotori oleh para pemimpin kiri terpilih. Sementara kekuatan kanan mulai kebakaran jenggot dan cemas. Sebagian dari mereka mulai menyalahkan pemerintah AS karena “mengabaikan AL dan lebih memperhatikan Timur Tengah”, serta pemerintahan-pemerintahan pro neo-liberal di AL karena “reformasi ekonomi yang setengah-setengah”. Mereka tidak mengakui, bahwa “reformasi ekonomi” ke arah neoliberal itu lah yang melahirkan perlawanan-perlawanan.
Arah perkembangan ke depan ditentukan oleh tiga faktor berikut: pertama, sejarah dan karakter masing-masing pemimpin ‘kiri’ terpilih dan konsistensi mereka menjalankan program-program anti imperialisme; ketiga, peran revolusioner pemerintah Venezuela dan Kuba; serta konsolidasi gerakan revolusioner di masing-masing negeri.
Sejarah dan karakter pemimpin-pemimpin ‘kiri’ yang mengemban amanat revolusioner dari rakyat ini berbeda-beda. Misalnya, pemerintahan Lula da Silva di Brazil walau banyak disebut sebagai pemerintahan kiri-tengah sosial demokrat, namun kebijakan-kebijakan ekonominya anti buruh dan rakyat miskin. Pujian Washington, IMF dan Bank Dunia terhadap reformasi ekonomi Brazil yang pro neoliberalisme, harus dicatat sebagai basis historis yang buruk. Sementara Nestor Kirchner di Argentina mencapai satu-satunya prestasi ‘terbaik’ dengan menolak pembayaran lebih dari $140 miliar hutang kepada IMF—yang sebagian kemudian dicicil hingga lunas oleh Pemerintah Hugo Chavez baru-baru ini. Ada juga Tabare Vazquez, yang tak berhasil didorong oleh demonstrasi rakyat untuk menolak pembayaran hutang luar negeri sangat besar.
Bagaimana dengan Lucio Gutierrez (Ekuador) dan Alejandro Toledo (Peru)? Keduanya dinilai sebagai pemimpin AL yang paling tidak populer di negerinya masing-masing karena mendukung agenda ALCA (FTAA)—perdagangan bebas AL. Gutierrez paling sering menghadapi pemogokan-pemogokan umum di negerinya, dan Toledo hampir dapat dipastikan tidak akan terpilih lagi pada pemilu di tahun ini. Adapun Ollanta Humala (Peru), kandidat Presiden yang mendukung platform Hugo Chavez mempunyai kesempatan yang lebih besar.
Sementara untuk Veronica Michelle Bachelet di Cili, cukup jelas bahwa jauh lebih besar harapan ketimbang kenyataan yang berjalan. Bachelet memang berasal dari keluarga yang mendukung pemerintahan Sosialis Salvatore Allende pada 1970-an awal, yang turut ditindas oleh diktator Pinochet. Situasi ini melahirkan simpati, sekaligus harapan bahwa Bachelet dapat menjadi ‘Allende Baru’ bagi Chili. Tapi, seperti pendahulunya Richardo Lagos, Bachelet belum menunjukkan komitmen anti imperialismenya—walau dalam janji pemilunya kesetaraan ekonomi dan pembanguan disebut sebagai target utamanya.
Dalam pidato pertamanya sebagai presiden Bolivia, Morales mengeluarkan pernyataan yang memberi harapan besar: “Chávez tidak sendiri, rakyat AL mendukungnya. Inilah sebuah kenyataan baru.” Evo Morales Aymar menyusun kabinet pemerintahannya dengan komposisi sejumlah aktivis gerakan rakyat di dalamnya. Pemerintahan ini juga langsung membangun kerja sama dengan Venezuela dalam hal perminyakan, serta dengan Kuba dalam program pendidikan dan kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan rakyat Bolivia. Meski demikian, langkah-langkah Morales masih akan terus diuji.
Peran Penting Kuba dan Venezuela
Pasca kudeta yang diskenariokan Amerika Serikat terhadap Hugo Chavez di tahun 2002, Venezuela mulai memimpin ‘serangan balik’ secara terbuka melawan imperialisme dan pemerintahan imperialis AS. Bersama Kuba, Venezuela terus mengkonsolidasikan dan mengkongkritkan potensi-potensi perlawanan pemerintah negara-negara AL terhadap imperialisme.
Mar del Plata, Argentina, menjadi saksi keberhasilan Chavez dan Castro mengkonsolidasikan penolakan terhadap FTAA sekaligus mendeklarasikan ALBA—the Bolivarian Alternative for the Americas (Alternatif Bolivarian untuk Rakyat Amerika) tahun lalu. ALBA adalah alternatif kerja sama AL melawan intervensi pasar bebas imperialis AS. Lula, Kirchner, dan Guiterrez berhasil didorong menandatangani kesepakatan tersebut. Bersama gerakan rakyat anti imperialisme yang tumpah ruah di jalan-jalan Argentina, Hugo Chavez berhasil membuat ketiga pemimpin negara itu menjilat ludah mereka sendiri (yang semula bermanis-manis dengan Washington mendukung FTAA).
Kehadiran ALBA, meski masih pada tahap peran kampanye alternatif, sudah berhasil memagari pimpinan-pimpinan kiri setengah hati di AL untuk bergerak menuju prinsip-prinsip saling melengkapi (dari pada berkompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerja bersama (daripada eksploitasi) dan penghormatan kedaulatan rakyat (menggantikan kekuasaan korporasi) bagi kemajuan tenaga produktif negeri-negeri yang lebih miskin, sekaligus menjadi kekuatan tandingan bagi imperialis AS.
Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kerja sama ini, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba setiap minggu—Mission Milagro. Kemudian bentuk ini diluaskan menjadi pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian, dokter dengan mesin-mesin produksi, bantuan modal untuk pengembangan energi minyak—namun bukan dnegan jalan memprivatisasikannya ke korporasi minyak-- dan penjualan minyak murah. Kerjasama ini mulai melibatkan Ecuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan Paraguay. Semuanya bertujuan semata-mata demi kemajuan tenaga produktif ekonomi rakyat di AL.
Pemerintah Chavez juga berhasil masuk dan mengubah orientasi MERCOSUR—Argentina-Brazil-Paraguay-Uruguay—dari sekadar blok perdagangan (minyak) yang mengejar profit. Chavez berkata; “Kita membutuhkan MERCOSUR yang memprioritaskan kepentingan rakyat. Kita membutuhkan MERCOSUR yang setiap hari bergerak semakin menjauh dari model integrasi korporasi elitis yang kuno, yang hanya mengejar keuntungan financial namun melupakan kaum buruh, anak-anak, dan martabat hidup manusia.”
Minyak Venezuela memang menjadi sumber dana bagi kemajuan AL saat ini. Petro Caribe dibangun untuk menyediakan minyak yang murah untuk rakyat di wilayah Karibia, dan rencana membangun Petro America yang menyatukan perusahaan-perusahaan energi milik negara diseluruh AL. Termasuk membayarkan hutang Argentina kepada IMF sebesar $2,4 milyar agar “Argentina segera mengakhiri ketergantungannya dengan IMF”. Chavez juga menggagas pembentukan sebuah alternatif lembaga keuangan melawan IMF, yakni Bank of the South (Bank Selatan), agar negeri-negeri dapat meminjam dana tanpa terikat kebijakan-kebijakan neoliberal yang dipaksakan Washington.
Dalam bidang budaya, sebuah stasiun televisi regional Telesur, diluncurkan 24 Juli lalu, bersamaan dengan peringatan hari lahir ke 222 Simon Bolivar. Telesur bertujuan menghancurkan hegemoni propaganda AS diseluruh benua ini. Sebuah perusahaan pertelevisian bersama antara Venezuela, Argentina, Cuba dan Uruguay, yang selama 24 jam penuh melakukan siaran sejak akhir Oktober lalu. Direktur informasi Jorge Botero, menjelaskan; “Dunia yang unipolar ini, di mana semua orang berkiblat ke utara dengan hormat dan berakhir pada pembudakan, harus segera diakhiri. Bagi kami, cakrawala sesungguhnya lebih luas terbentang daripada yang dilihat dari Washington, dan karena itulah moto kami ‘Utara Kami adalah Selatan’.”
Diatas segalanya, inilah kemenangan dan hadiah yang luar biasa indah bagi rakyat Kuba yang selama bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan di bawah blokade AS. Kuba—bersama Venezuela—berhasil mengkonsolidasikan kekuatan seluruh AL, dan memenangkan pertempuran tanpa senjata, melainkan dengan ideologi sosialis dan solidaritas nyata yang, ternyata, jauh lebih ampuh dari senjata secanggih apapun. Inilah contoh Internasionalisme Sosialis di dalam praktek yang sesungguhnya.
Gerakan Rakyat untuk Sosialisme Abad 21
Tuntutan revolusioner yang menghendaki keadilan ekonomi melalui nasionalisasi—penolakan privatisasi—penyediaan lapangan pekerjaan, redistribusi tanah dan permodalan bagi pertanian, serta pemberantasan korupsi, semakin sulit ditawar lagi. Ini adalah situasi menguntungkan bagi konsolidasi dan kemajuan gerakan rakyat revolusioner di masing-masing negeri. Jatuh bangunnya gerakan adalah hal biasa dalam sejarah AL, namun kuatnya gelombang radikalisme menunjukkan bahwa kebangkitan kali ini tidak akan mudah dihancurkan.
Di pembuka abad ini, gerakan rakyat AL—gerakan tani, buruh, kaum miskin tak bepekerjaan, mahasiswa progressif—berhasil mewujudkan persatuan yang bermanfaat. Ini merupakan pelajaran berharga bagi gerakan revolusioner di seluruh dunia, ketika eksistensi, sektarianisme, dan kompromi yang merugikan, menjadi duri sandungan bagi pembangunan persatuan. Dari perjuangan sektoral dan lokal, gerilya bersenjata di gunung dan perkotaan, perjuangan keserikat-buruhan dan hak-hak pengelolaan tanah, dari jalanan hingga gedung parlemen, semuanya semakin mengarah pada perjuangan untuk membangun dan mengkongkritkan model alternatif untuk menggantikan model kekuasaan neoliberal yang sudah bangkrut, menuju sosialisme abad 21.
Revolusi Venezuela sudah menyebarkan kilau bagi revolusi di seluruh AL. Kemajuannya semakin jauh mendiskriditkan model ‘alternatif’ yang ramah terhadap neoliberalisme, seperti yang dibawa Lula. Pengkhianatan yang pernah dilakukan Brazil dengan membentuk “Sahabat Venezuela” yang pada kenyataannya mendukung kudeta terhadap Hugo Chavez, menorehkan catatan buruk yang harus terus diwaspadai oleh gerakan revolusioner di masing-masing negeri. Semakin nyata, kuat dan luas persatuan gerakan, akan semakin nyata, kuat dan luas pula program-program menuju Sosialisme abad 21 dapat menyebar, tak hanya di AL, bahkan diseluruh dunia.
Ditengah-tengah deideologisasi, keengganan terlibat dalam pertempuran merebut kekuasaan di tingkat nasional, social movement di negeri-negeri maju saat ini harus mengakui bahwa: “Ya, Venezuela adalah sekutu terbaik gerakan sosial dunia saat ini”. Paling tidak inilah yang dinyatakan oleh Direktur Global Exchange Amerika, Deborah James, pasca kunjungannya dari Venezuela tahun lalu.
Memang tak ada jalan lain, selain merebut kekuasaan dan membangun alternatif. (zy, dom, ismu)
Ditulis Oleh: Tim Dept. Relasi Int'l KPP-PRD
Senin, 20 Pebruari 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar