Rabu, 16 Desember 2009

Pandangan Zygmunt Bauman; Tentang Etika Postmodern


Bauman mencoba memotret permasalahan seputar etika abad ini. Etika di sini perlu diartikan secara luas: sebagai tingkah laku manusia pada jaman ini; sedangkan postmodern sendiri dimaksudkan sebagai cara memandang modernitas secara telanjang terutama berkaitan dengan kebobrokan-kebobrokannya. Pandangan Bauman mengenai etika postmodern dibangun atas sejumlah publikasi, berawal dari Legislators And Interpreters (1988) sampai dengan Life in Fragments: Essays in Postmodern Morality (1995).
Menurut Bauman, pluralisasi telah meruntuhkan klaim kaum absolutis tentang filsafat Barat dan teori-teori sosial. Filsafat Barat yang mengikuti Locke dan Kant, mengklaim telah menemukan metode yang benar (epistemologi) untuk menentukan the Truth. Kebenaran tersebut bersifat tunggal dan berlaku universal. Klaim universalisme Barat sekarang tampak tidak lebih dari pada sebuah pretensi.
Menurut Bauman, “pretensi” tersebut tak lain adalah sebuah topeng dari motivasi ideologis untuk melindungi dan membangun “budaya” dan “rasionalitas” masyarakat Barat. Jika kepastian filsafat Barat diruntuhkan, kedudukan para intelektual juga terancam. Ia mengeluhkan pretensi mengenai universalitas seluruh filsafat dan teori sosial kaum modernis.
Namun demikian, sementara menegaskan bahwa teori kaum modernis telah kehilangan cara untuk menghadapi pluralisme yang baru tersebut, Bauman menemukan bahwa postmodernisme dapat menanggapi problematika itu secara seimbang. Postmodernisme, menurutnya, dapat menghadapi universalisme filsafat kaum modernis dengan benar. Dalam bukunya yang berjudul Postmodern Ethics, Bauman mencoba menawarkan semacam alternatif bagaimana menempatkan etika dalam kehidupan saat ini yang ditandai dengan pluralisasi dan ambivalensi moral.
Dalam paparan berikut saya mencoba menampilkan gagasan-gagasan pokok etika Bauman yang terungkap dalam buku Postmodern Ethics. Untuk mengawalinya saya akan memperkenalkan Zygmunt Bauman secara sekilas; kemudian pada bagian akhir tulisan ini saya akan menyajikan kesimpulan dan beberapa hal yang dapat kita petik dari pemikiran Bauman. Tragedi World Trade Center dan Afganistan merupakan salah satu contoh bagaimana etika Bauman mencoba melihat teknologi dewasa ini dalam kacamata Levinas. Teknologi yang benar seharusnya semakin menempatkan manusia menjadi manusia bagi yang lain, bukan manusia pemakan manusia lain.
II. Zygmunt Bauman: Sosiolog Postmodernis
Zygmunt Bauman adalah seorang sosiolog dari Polandia. Ia lahir di Poznan, Polandia. Pada tahun 1950-an ia bersama isterinya, Janina, datang ke Inggris. Janina juga seorang penulis yang mempunyai jalan pemikiran sendiri. Sebelum menjadi profesor sosiologi di Universitas Leeds, Yorkshire, ia adalah seorang pengajar. Selain itu ia juga dikenal sebagai seorang pengarang yang produktif. Banyak karya yang ia tulis sejak ia secara resmi pensiun dan menjadi profesor emeritus di bidang sosiologi. Setidaknya, Anthony Giddens seorang sosiolog Inggris mengakui Bauman sebagai “seorang teoritikus mengenai postmodernitas….ia telah membangun sebuah posisi di mana setiap orang akan memperhitungkannya”[1] Bauman juga dikenal sebagai analis yang cerdik dengan gagasan-gagasannya yang tajam. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain: Legislator and Interpreters (1987), Modernity and the Holocaust (1989), Modernity and Ambivalence (1991), Intimations of Postmodernity (1992), Postmodern Ethics (1993), Life in Fragments: Essays in Postmodern Morality (1995).[2]
Sebagai seorang sosiolog, Bauman menampilkan fenomena-fenomena sosial yang ada pada jaman ini. Bauman juga tertarik untuk melihat kedudukan sebuah kode etik di era postmodern yang secara inheren bertentangan dengan sistem kode etik lama yang dikenal sebagai “suatu rumus-rumus yang harus ditaati oleh setiap individu yang bermoral”. Sistem etika yang lama ini dipandangnya tidak adekuat. Etika postmodern telah membuka kemungkinan pemahaman baru mengenai kebiasaan moral.
III. Etika Dalam Perspektif Postmodern
Etika postmodern menolak banyak hal yang dianggap sebagai pandangan etika modern. Etika postmodern menolak atau lebih tepatnya mempertanyakan kembali hal-hal seperti: 1) peraturan normatif yang memaksa; 2) pencarian dasar-dasar etika (foundation) dan bentuk-bentuk universal serta mutlak dari etika; 3) pencarian sebuah kode etik modern yang non ambivalen dan tidak mengandung kontradiksi sama sekali.
Pendekatan postmodern terhadap moralitas sering diasosiasikan dengan “perayaan kematian etika”, penggantian etika dengan estetika. Lipovetsky misalnya saja menyatakan bahwa kita sekarang sudah memasuki era pasca kewajiban moral, suatu masa post-deontis (l’après-devoir). Perilaku kita dibebaskan dari “kewajiban mutlak”. Era kita adalah era individulisme yang murni-tak terpalsukan (unadulterated) serta pencarian kehidupan yang lebih baik (good life), yang paling-paling hanya dibatasi oleh tuntutan untuk bertoleransi. Pandangan semacam ini dinilai oleh Bauman sebagai suatu kesalahan. [3] Lipovetsky dianggap mengacaukan antara topik investigasinya dengan sumber-sumber investigasinya. Menjelaskan kebiasaan yang ada tidak berarti telah membuat suatu statement moral.[4]
Meskipun etika postmodern mempertanyakan kembali berbagai hal yang dipandang sebagai etika modern, isu besar dalam etika tidak kehilangan nilai pentingnya. Bahkan dalam sebuah dunia postmodern kita ditatapkan dengan isu-isu yang signifikan seperti hak asasi, keadilan sosial dan berbagai konflik. Konflik tersebut bisa jadi antara usaha kerja sama yang damai bertentangan dengan penegasan individu. Bisa juga terjadi konfrontasi antara tingkah laku individu dan kesejahteraan kolektif. Isu-isu tersebut tetap ada tetapi harus dihadapi dan dilihat dengan cara pandang yang baru.
Kebaruan pendekatan etika postmodern tidak terletak pada usahanya untuk meninggalkan apa yang menjadi perhatian (concern) moral modern, melainkan pada penolakannya terhadap cara-cara modern menghadapi masalah moral. Menghadapi masalah-masalah moral, pendekatan modern memproduksi peraturan-peraturan normatif yang memaksa-yang diintegrasikan dalam praktik politik. Selain itu juga dihasilkan pencarian filosofis akan teori moral yang absolut, universal, dan memiliki foundation.
Dalam pandangan modern meskipun orang itu bebas, namun orang yang bersangkutan baru sungguh bebas apabila ia menggunakan kebebasannya itu untuk memilih yang benar. Oleh karena itu, alih-alih memandang moralitas sebagai “sikap alamiah” manusia, para legislator dan pemikir modern memandang moralitas sebagai sesuatu yang harus diajarkan kepada manusia. Atas dasar inilah mereka mencoba menyusun suatu etika yang komprehensif, dapat diajarkan dan memaksa untuk ditaati (wajib). Dalam pandangan mereka yang bertanggung jawab mengelola masyarakat, kebebasan individu perlu diawasi. Walaupun demikian pelaksanaan kebebasan ini tetap dapat bersifat otonom (subyek yang bersangkutan merepresi inting-instingnya) maupun heteronom (subyek tidak melakukan sesuatu karena ada aturan/sanksi dari pihak luar). Otonomi subyek yang rasional dan heteronomi manajemen (masyarakat) yang rasional ini saling mengandaikan, namun keduanya tak dapat eksis secara damai pula. Inilah aporia itu, suatu kontradiksi yang tak dapat diatasi. Pemikiran etika modern mencoba mengatasi kontradiksi ini dengan univesalitas dan foundation guna menghasilkan suatu kode etik yang non-ambivalen dan non-aporetic. Namun kode etik yang semacam itu tak pernah dapat ditemukan.[5]
Berbeda dengan pandangan modern, dalam perspektif postmodern hukum moral memang mengandung berbagai macam ambivalensi dan kontradiksi. Aspek-aspek kondisi moral menurut perspektif postmodern adalah sebagai berikut:[6]
1. Masyarakat secara moral pada hakekatnya tidak baik maupun buruk tetapi ambivalen... tidak ada kode etik yang secara logis dapat “cocok” dengan kondisi moralitas yang secara esensial ambivalen ini.
2. Fenomena moral secara inheren adalah ‘non-rasional’; fenomena moral ini tidak teratur, tidak berulang (repetitive), tidak monoton, tidak dapat diprediksi sehingga tidak dapat dirumuskan dalam suatu pedoman tertentu (rule-guided). Bagaimanapun juga tidak ada kode etik yang mungkin dapat menghadapi fenomena moral dalam sebuah cara yang mendalam, lengkap dan mrantasi (dapat menyelesaikan segala masalah etika dengan lengkap dan menyeluruh).
3. Moralitas secara inheren penuh dengan kontradiksi yang tidak teratasi.
Ini berarti bahwa masalah moral mengandung konflik yang tidak dapat dipecahkan (aporia).
4. Tidak ada sesuatu atau satupun yang merupakan sebuah moralitas yang berlaku secara universal.
5. Dari perspektif “perintah rasional”, moralitas terikat untuk tetap irasional.
6. Karena Bauman menolak sistem etika-yang memaksa, yang keluar dari masyarakat sebagai suatu yang universal, dia berargumen bagi sebuah sistem etika yang memancar dari Sang Diri individu. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa “being for the Other” mendahului “being with the Other.”
7. Meskipun perspektif postmodern mengenai moralitas menolak bentuk moralitas yang memaksa dari perspektif modern, tidak berarti menerima ide apa saja, misalnya ide relativisme moral. Yang dilihat oleh postmodernisme adalah adanya relativisme kode etis.[7]
IV. Etika Modern versus Etika Postmodern
Beberapa prinsip etika modern yang dipertanyakan oleh etika postmodern adalah masalah tanggung jawab, universalitas dan dasar-dasar etika.
Bauman melihat bahwa modernitas menggunakan peraturan yang dibuat secara rasional untuk mengukur tanggung jawab manusia. Padahal banyak peraturan yang kontradiktif satu sama lain sehingga justru menimbulkan ketidakpastian moral. Ketidakpastian moral ini menyebabkan ketidakpastian etis. Dalam masyarakat sendiri timbul pertentangan, di satu sisi menuntut kebebasan sebebas-bebasnya dan di sisi lain ingin hidup di bawah kontrol peraturan normatif. Bauman menawarkan moralitas tanpa kode etik dengan mengembalikan moral pada hak dan martabat manusia. Moralitas dibebaskan dari kode etik sehingga kembali kepada ukurannya sendiri. Dengan demikian dorongan moral, tanggung jawab moral dan intimitas moral dikembalikan kedudukannya sebagai bahan baku moralitas itu sendiri, bukan bersumber pada peraturan.
Bauman melihat bahwa universalitas merupakan usaha dari modernitas untuk meng-universalisasi-kan satu kodrat atau esensi manusia. Namun demikian, penekanan etika yang bersifat universal itu justru di sisi lain menimbulkan berbagai macam perang. Tidak hanya sampai di situ, usaha universalitas ini juga mengakibatkan penghakiman serta penegasan kembali bahwa yang lokal adalah tahkayul. Dengan demikian usaha untuk mewujudkan etika yang bersifat universal itu justru melemahkan hak istimewa moral individu dan memberikan otoritas moral pada negara. Dalam pandangan Bauman universalitas dalam perspektif postmodern hanyalah menyangkut masalah globalisasi yang berkaitan dengan informasi, teknologi dan ekonomi bukan ekumenisasi politik, budaya dan otoritas moral. Usaha-usaha universalitas etis dilihat sebagai upaya menggantikan otonomi moral individu dengan peraturan rasional yang heteronom dengan dalih etis.
Oleh karena itu universalitas etis ditolak Bauman dengan alasan bahwa dalam moralitas We (kami atau kita) bukanlah jumlah dari I (saya) yang banyak. I tidak dapat menggantikan she atau he, karena hubungan asimetri. Relasi asimetri merupakan relasi being for other (etre-pour-l’autre). Relasi ini dapat dijelaskan demikian: Aku ada bagi orang lain; sedangkan apakah orang lain ada bagiku atau tidak bukan merupakan urusanku. Adanya bagiku terlihat dari bicara maupun masalah-masalahnya. Namun demikian apakah atau bagaimana dia menangani masalahnya tidak terpengaruh pada ada-bagi-dia-ku (being-for-him-ku). Being-for-him-ku juga menghormati otonominya. Apapun isinya, ”I am for you”, jelaslah tidak berisi tuntutan balik yang harus dibayar, dipantulkan atau diimbangi dalam hubungan “you are for me”[8] Dalam hal ini, perspektif etika postmodern tidak menggunakan hubungan dialogis a la Martin Buber atau hubungan asimetri being with Heidegger.
Universalitas hanya memunculkan peraturan. Peraturan membuat orang serupa. Artinya, siapa pun dianggap mempunyai kemampuan dan kewajiban untuk mentaati peraturan tanpa membedakan yang satu dengan yang lain. Padahal moralitas menuntut tanggung jawab. Tanggung jawab inilah yang semakin membuat orang semakin menjadi individu, bukan semakin serupa.
Moralitas tidak dapat diuniversalkan karena tidak mempunyai tujuan, keadaan timbal balik dan hubungan kontrak. Sebagai pribadi yang bermoral individu adalah sendirian, walaupun sebagai pribadi sosial selalu bersama orang lain.
Modernitas menawarkan kesejahteraan umum, akal budi dan rasionalitas sebagai dasar. Bauman mempertanyakan apakah memang benar demikian. Benarkah dasar moralitas adalah kesejahteraan umum dan akal budi? Bauman melihat bahwa dasarnya adalah dorongan moral itu sendiri. Dasar moralitas tersebut adalah ambivalensi. Dasar pemikirannya adalah pendapat Levinas mengenai “moralitas mendahului ada”.
V. Moral Berduaan: Relasi Asimetri
Bauman melihat bahwa hubungan moral dapat dilihat dengan jelas dalam relasi asimetri dua pihak. Relasi asimetri ini membutuhkan kedekatan (proximity). Padahal kedekatan sendiri merupakan aporia. Secara paradoksal dapat dikatakan bahwa kebebasanku semakin besar ketika menemukan yang lain sebagai ketergantunganku. Aporia kodrat manusia sendiri tidak dapat dinilai sebagai baik atau buruk melainkan ambivalen.
Menggarisbawahi karya Emannuel Levinas, Bauman berargumentasi bahwa kita harus mengubah persepsi kita mengenai orang miskin. Tujuan filsafat Levinas—yang didukung sepenuhnya oleh Bauman—adalah untuk mengatasi secara etis tradisi ontologis yang netral. Dalam Totality and Infinity (1961), Levinas pertama kali menggarisbawahi konsepsinya mengenai intersubyektivitas. Ia menggalinya lebih jauh lagi dalam Otherwise Than Being atau Beyond Essense (1974). Karya-karya tersebut dibangun atas dasar filsafat modern dan pemikiran Yahudi dalam konsep Mitzvah (command) dan kesejahteraan “janda, anak yatim dan orang asing” dalam Torah. Tema pokok dalam filsafatnya adalah sebuah pengertian mengenai intersubyektivitas, yang harus menjadi pusat dalam hidup kita.
Pengertian akan yang lain, pengertian akan penderitaan dan ketidakberdayaannya bahkan ketika yang lain adalah seorang asing adalah pusat dari konsepnya mengenai intersubyektivitas. Kita mempunyai sebuah tanggung jawab terhadap yang lain dan sebuah kewajiban untuk menghormati perbedaan dari yang lain.
Bertentangan dengan filsafat modern yang memberikan penekanan kuat pada diri, Levinas lebih menekankan intersubyektivitas. Berlawanan dengan pemikiran Decartes, cogito ergo sum (I think therefore I am), Levinas mengedepankan frase Ibrani Hineni (Here I am). Relasi kita dengan orang lain bisa jadi tidak seimbang tetapi relasi menekankan penderitaan mereka menjadi perhatian kita. Relasi inilah yang oleh Levinas digambarkan sebagai relasi etis. Tanggung jawab terhadap yang lain inilah yang mendorong penegakan keadilan.[9]
Oleh karena itu, Bauman menggambarkan etika sebagai caress (belaian) yang berintikan cinta erotis. Inti belaian sendiri adalah ambivalensi. Belaian tangan secara karakteristik tetap tinggal terbuka, tidak pernah mengencangkan diri menjadi genggaman atau kepalan. Belaian hanyalah menyentuh tanpa menekan. Belaian bergerak mengikuti lekuk tubuh yang dibelainya. Dari analogi ini mau dikatakan bahwa etika pre-ontologis Levinas tidak bisa didasarkan pada kemampuan melihat atau mendengar tapi pada kemampuan merasakan sentuhan. Belaian merupakan isyarat untuk mendekati yang lain. Hasil pendekatan, pemberian diri atau kekerasan bukanlah kesalahan tetapi merupakan sifat atau ciri konstitutif belaian itu sendiri. Inilah yang menyebabkan orang membangun etika, yaitu cinta pada kemampuan merasakan bukan pada kemampuan melihat atau mendengar.[10]
VI. Moral Sosial : Struktur versus Anti-Struktur serta Ketegangan antara Ruang Kognitif, Ruang Estetik dan Ruang Moral
Namun demikian, hubungan moral dua pihak ini menjadi lain ketika muncul pihak ketiga yang datang nimbrung dalam hubungan dua pihak. Dengan hadirnya pihak ketiga muncullah masyarakat sejati. Proximity yang pada mulanya menandai hubungan dua pihak digantikan oleh sebuah jarak (distance). Dengan jarak ini muncullah apa yang dinamakan obyektivitas.
Bauman mencoba memotret secara luas situasi dan kondisi masyarakat ini. Ia melihat bahwa ada dua bentuk masyarakat yang berbeda dengan ciri saling menggantikan satu sama lain. Dua gejala bentuk masyarakat dikenal sebagai struktur (masyarakat atau sosialisasi) dan anti-struktur (komunitas atau sosialitas).
Struktur (masyarakat atau sosialisasi) berciri khas heterogenitas, tidak setara, perbedaan status dan adanya sistem tata nama (nomen klatur). Ciri khas ini memunculkan apa yang dinamakan klasifikasi dan diferensiasi. Klasifikasi maupun diferensiasi tersebut membagi kelompok masyarakat menjadi kelompok elite dan massa. Yang termasuk dalam kategori massa tersebut meliputi: ras inferior[11], orang miskin dan bodoh[12], wanita[13]. Sosialisasi cenderung membuat moralitas menjadi rasional.
Anti-struktur (komunitas, sosialitas) berciri homogenitas, kesetaraan, ketiadaan status dan anonim. Anonim dapat diartikan sebagai tanpa tujuan, tanpa kepentingan dan autotelic (mempunyai tujuan pada dirinya sendiri). Struktur dan anti-struktur adalah dua proses dan dua prinsip yang berbeda. Untuk memahaminya, Bauman mengambil contoh sebuah negara. Sekarang ini tampak munculnya perceraian antara politik yang terpusat pada negara dan eksistensi moral warga negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa hal tersebut juga merupakan perceraian sosialisasi yang diatur negara dan sosialitas yang komunal; perceraian ini tampaknya semakin jauh dan tidak mungkin kembali lagi.
Pembentukan-pembentukan kelompok-kelompok yang menyerupai suku bangsa muncul dari erupsi sosialitas yang kacau dan tidak teratur. Berbeda dengan kelompok suku-suku bangsa masa lalu, ikatan-ikatan suku-suku baru (neo-tribes) dibentuk berdasarkan kepentingan bersama atau kebersamaan kepentingan. Berbeda dengan kelompok-kelompok tradisional, neo-tribes mudah goyah, pecah dan bubar sewaktu-waktu. Fenomena-fenomena ini harus dimengerti sebagai tatapan atas berfungsi tidaknya etika.
Bauman juga mencoba memetakan kemajuan yang dicapai modernitas dalam tiga ruang, yaitu ruang sosial (atau ruang kognitif), ruang estetik, dan ruang moral. Memang ruang tersebut bukanlah dimaksudkan sebagai ruang fisik melainkan merupakan reduksi fenomenologis pengalaman sehari-hari. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ruang kognitif dibangun secara intelektual oleh penyelidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan. Ruang estetik dirancang dengan membangkitkan perasaan perhatian dan yang dituntun oleh keingintahuan dan pencarian bagi intensitas eksperiensial. Ruang moral dibangun melalui penyebaran tanggung jawab tidak seimbang yang dirasakan dan diasumsikan.
Dalam ruang kognitif terbentang, di antara kutub, intimitas-kutub anonimitas. Pendekatan ini bdk. tingkat pengetahuan. Semakin banyak tahu berarti ada dalam jangkauan kutub intimitas, dan semakin kurang pengetahuan kita akan seseorang berarti semakin berada dalam lingkup kutub anonimitas.
Dalam perjumpaan yang terjadi dalam ruang sosial, kita berhadapan dengan tipe (type) bukan pribadi (person). Oleh karena itu dalam pendekatan biologis yang lain dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu sesama dan yang asing. Yang asing sendiri dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: musuh, tamu dan calon tamu. Bauman lebih menggunakan strangers (yang asing) untuk melihat fenomena ruang kognitif saat ini. Ia melihat bahwa kita hidup bersama strangers. Oleh karena itu perjumpaan yang dihasilkan adalah perjumpaan semu, berjumpa tapi tidak mengenal. Hal tersebut dapat dilihat dalam fenomena kota besar seperti kota modern. Di kota modern banyak dibangun hotel sebagai tempat singgah sementara. Dalam arti tertentu bangunan tersebut memang dirancang untuk numpang lewat. Hal lain juga terlihat dalam gejala kaca reyband. Di balik kaca reyband kita bergerak namun tanpa mengenal. Bauman menyebutnya sebagai aporia orang asing untuk memotret kehidupan jaman ini. Hidup bersama dan berdekatan dengan orang asing di satu sisi, namun tidak mengenal di sisi lain.
Dalam hal mengenai ruang estetik, Bauman juga memotret bahwa hidup di jaman sekarang menawarkan beraneka macam kemungkinan. Secara estetik ruang kota adalah sebuah tontonan di mana nilai hiburan mengesampingkan seluruh pertimbangan lain. Bauman menangkap fenomena “melancong” dalam rangka memahami ruang estetik. Kegembiraan berjalan-jalan di kota adalah sebuah kegembiraan permainan. Berpergian (ngluyur) tanpa tujuan, berhenti sesaat sambil melihat apa yang ada di sekelilingnya merupakan gejolak dari ruang estetik. Kalau dalam ruang kognitif, perasaan menjadi hamba pengetahuan, dalam ruang estetik perasaan menjadi raja.
Dengan pemahamannya mengenai ruang moral, Bauman mencoba untuk membongkar ruang kognitif dan ruang estetik. Dalam ruang kognitif, obyek-obyek relasi adalah the other dimana kita hidup dengan (living with). Ruang moral menawarkan obyek the other di mana kita hidup baginya (being for). Bagi ruang kognitif, stranger adalah tidak dikenal oleh karena itu tidak perlu diperhatikan. Dalam ruang moral Bauman menawarkan bahwa stranger justru harus dirawat dan diperhatikan atas dasar relasi asimetris being for others.
Ruang moral juga mencoba membongkar ruang estetik dengan ikatan tanggung jawab moral dan perhatian terus menerus pada the other. Hal ini amat ditekankan karena sifat mengikat dan tanggung jawab moral tidak dikenal oleh ruang estetik. Ruang estetik sendiri lebih merupakan ruang bebas bergerak dengan perhatian pada obyek secara berganti-ganti. Nilai permainan dan kesenangan yang menjadi pusat perhatian ruang estetik bermusuhan dengan tanggung jawab moral.
Dengan demikian Bauman melihat bahwa secara kognitif maupun estetik, ruang dunia tidak ramah terhadap ruang gerak moral. Dalam keduanya, desakan moral merupakan suatu yang asing. Ruang kognitif menghargai impersonalitas indeferent aturan berdasar akal budi dan tidak ternodai sedikitpun oleh afeksi. Sebaliknya ruang estetik cenderung mencari kesenangan dan kebebasan. Padahal ruang gerak moral sendiri menuntut tanggung jawab, keterikatan, perhatian dan perawatan terhadap the other. Dalam kacamata ruang moral, dalam kehidupan kota besar strangers adalah yang lemah dan butuh dilindungi. Dengan demikian, hidup moral tetap ambivalen dan dilengkapi dengan tekanan bersilangan antara sosialisasi dan sosialitas, ruang kognitif dan ruang moral. Seni moralitas merupakan seni hidup dengan ambivalensi.
VII. Moral Privat dan Resiko Publik
Lebih jauh Bauman mencoba mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dipandang dari sudut etika. Ilmu Pengetahuan dan teknologi di sini tentu dimaksudkan sebagai hasil dari rasionalitas yang merupakan elemen terpenting dalam modernitas. Bauman mencoba menempatkan sisi positif dan negatif dari sudut yang berimbang. Dalam hal etika mengenai teknologi, Bauman mencoba mendasarkan pendapatnya pada etika Hans Jonas.
Pertama-tama, Bauman melihat bahwa teknologi telah menjadi sistem yang tertutup. Ini berarti, teknologi menjadikan dunia ini sebagai sumber bahan mentah sekaligus tempat sampah. Semakin banyak masalah yang ditimbulkan oleh teknologi semakin banyak lagi kemampuan dan ketrampilan teknologi yang dibutuhkan untuk memecahkannya. Dengan kata lain, hanya teknologilah yang dapat memperbaiki teknologi.
Teknologi sendiri tidak dapat dilepaskan begitu saja dari sejarahnya. Perkembangan tersebut secara garis besar dapat dikatakan sejak manusia masih tergantung pada kekuatan diri dan alam (otot manusia, tenaga binatang, sungai dan angin) sampai pada manusia yang menguasai alam.[14] Dengan teknologi, manusia mampu mengatasi alam secara baru. Teknologi membuat manusia mampu mendominasi, mengontrol, dan mengatur sesuatu termasuk menjadikan manusia lain menjadi obyek teknologi itu sendiri. Tentu saja teknologi tersebut melibatkan kalkulasi rasional, kegunaan praktis, dan rasa kesenangan. Kemampuan manusia dan sistem tertutup dari teknologi tersebut semakin kentara dengan fenomena para spesialis yang menguasai secara mendalam suatu bidang tertentu.
Menurut Bauman, teknologi justru hanya menciptakan ruang-ruang bagi homo ludens (para penjudi), homo oeconomicus (para pengusaha) dan homo sentimentalis (kaum hedonis). Pertanyaannya adalah di manakah ruang moral? Menurut Bauman, diri moral paling nampak jelas dan mencolok di antara korban-korban teknologi. Seperti disebutkan dalam tragedi WTC dan Afganistan, diri moral nampak dalam mereka yang menjadi korban, baik yang di WTC maupun penduduk Afganistan. Namun demikian, tidak ada tempat bagi subyek moral. Dalam semesta teknologi, diri moral yang mengabaikan kalkulasi rasional, kegunaan praktis dan rasa kesenangan merupakan yang asing yang tidak dikehendaki kehadirannya.
Teknologi sendiri dengan berbagai bentuk menghasilkan risiko-risiko dan bahaya. Logika untuk menghasilkan kesejahteraan secara berangsur-angsur digantikan oleh logika menghindari dan mengatur risiko. Muncullah apa yang dinamakan dalam istilah Ulrich Beck sebagai “Risk Society”. Menurut Ulrich Beck sebagaimana yang dikutip oleh Bauman, bahaya atau risiko tersebut tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan tidak dapat secara langsung dikenali terutama oleh masyarakat pada umumnya. Masyarakat inilah yang merupakan calon korban dari teknologi tersebut. Namun demikian peperangan melawan risiko itu sendiri berhadapan dengan berbagai macam tantangan yang tidak mudah.[15]
Permasalahan teknologi (yang merupakan bagian dari modernitas) menuntun pada pencarian solusi etis terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan oleh modernitas. Pergerakan modern ini meruntuhkan moralitas. Tanggung jawab yang mengatasi kewajiban kontrak maupun “being for” tidak dapat dikurangi menjadi “being for one self” yang terasa hambar.
Bauman menegaskan bahwa kasus yang dekat secara typical dapat ditemukan dalam masyarakat yang berteknologi tinggi. Korban risiko teknologi yang tidak diketahui cocok dengan gambaran Levinas mengenai the Other yang lemah, rapuh dan tanpa kekuatan. Mereka sungguh-sungguh tanpa kekuatan karena mereka tidak dapat membalas apa yang telah dilakukan orang lain terhadap dirinya. Apapun bentuknya, moralitas pertama-tama dan terutama haruslah sebuah etika mengenai pembatasan diri (self-elimination) sebagai mana terjadi dalam moralitas kedekatan (proximity). Dalam konteks moral kelompok, etika bertugas untuk menggambarkan akibat-akibat dari sebuah tindakan dalam hal ini tindakan yang berhubungan dengan teknologi. Ramalan mengenai malapetaka atau kemungkinan munculnya bencana kemanusian karena teknologi diberi porsi lebih besar daripada ramalan mengenai kebahagiaan, kemajuan maupun kesempurnaan. Yang menjadi dorongan pertama dan terutama adalah sebuah etika yang menjaga dan mencegah seperlunya, bukan atas dorongan kemajuan dan kesempurnaan. Dengan demikian etika tersebut mempunyai dua tugas utama yaitu menvisualisasikan bahaya-bahaya yang dapat terjadi dengan munculnya teknologi sekaligus melindungi mereka yang karena kesederhanaan dan keterbatasannya menjadi korban teknologi itu sendiri.
VIII. Penutup
Di bidang moral dibayangkan bahwa modernisme akan melahirkan pribadi-pribadi moral yang otonom, manusia sejati yang mampu mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya sendiri secara rasional, dengan mengikuti prinsip-prinsip etika universal. Dalam prakteknya justru tidak terjadi demikian karena kontrol, birokrasi, bisnis, dan fragmentasi.[16]
Kecenderungan modernisme untuk mengontrol dan mengendalikan segala hal akhirnya menuntut agar kehidupan manusia dan semesta dirancang dan direkayasa. Universalitas adalah dalih ampuh. Atas nama universalitas dilegitimasikan upaya rekayasa dan penyeragaman besar-besaran hingga skala global. Kendati proyek ini menampilkan nilai-nilai universal melalui rasionalitas ilmiah, secara bertahap makin terasa bahwa dalam praksis modernisasi di berbagai belahan dunia intoleran terhadap nilai-nilai lokal sehingga universalitas dicurigai sebagai krisis serius. Intoleransi tersebut tidak hanya terjadi di negara berkembang saja, tetapi juga di negara maju.
Kejahatan kemanusiaan jangan-jangan bukan sekedar akibat sampingan atau penyimpangan dari proyek luhur modernisme melainkan justru produk langsung dan inheren dari modernisme itu. Di bidang moral seolah-olah tentang apa yang sesungguhnya "baik", "adil " dan “wajib” haruslah didiktekan oleh mereka yang berotoritas dan ahli, dalam hal ini para filsuf. Proyek besar modernisme beserta misi universalnya ternyata hanya bisa berjalan dengan logika kekuasaan dan dominasi. Hasil dari proyek humanisasi justru inhumanitas. Ada kecurigaan terhadap unsur-unsur ideologis yang tersembuyi di dalam prinsip-prinsip etik universal.
Rasionalitas modern berinkarnasi juga dalam sosok birokrasi. Yang berperan adalah aturan sehingga seluruh pola perilaku harus disesuaikan dengan aturan itu. Sikap impersonal adalah syarat agar segala kegiatan itu bersifat rasional.
Dengan cara kerja demikian proyek-proyek modernisasi bergerak bagai sistem-sistem rekayasa yang anonim dan hadir bagai tuntutan-tuntutan alamiah, kodrati, universal yang mewajibkan dan tak terelakkan. Pemujaan otonomi individu mengakibatkan individu menjadi impoten dan sangat tergantung pada institusi, pada sistem-sistem rekayasa modern.
Rasionalitas modern juga berinkarnasi dalam wujud rasionalitas instrumental yang merupakan sukma kehidupan bisnis. Segala sarana alat dan aset harus digunakan seoptimal mungkin agar mendapat keuntungan sebanyak mungkin sehingga hubungan menjadi impersonal, rasional dan efisien. Aliansi pola birokrasi dan kepentingan bisnis semakin memaksa individu tidak mendengarkan suara hati moralnya. Yang harus diperhatikan hanyalah pekerjaannya: dilakukan secara "betul" atau "salah" alias tak ada hubungan antara pekerjaan dan moral. Nilai moral dilepaskan dari pekerjaan (semacam proses demoralisasi). Etika bisnis hanyalah sebagai rambu-rambu, bandingkan dengan moralitas Levinas yang intinya: secara tanpa syarat (unconditional) menganggap nasib orang lain sebagai tanggung jawab saya.
Dunia modern adalah dunia yang tidak lagi solid, tidak lagi memiliki kontinuitas dan ketakterdugaan. Kondisi ini membuat orang takut untuk merencanakan sesuatu secara ketat. Sikap arif satu-satunya adalah menghindari komitmen serius, tak peduli secara moral dan sosial[17]
Bauman mengajak kita untuk memberi porsi tanggung jawab moral kepada otonomi individu-individu berdasarkan dorongan moralnya. Ini berarti berusaha menjadi individu yang bertindak secara otonom di antara khalayak. Dengan demikian secara dewasa individu tersebut juga mampu mempertanggung jawabkan apa yang diperbuatnya berdasarkan kesadaran pribadi, bukan karena suatu aturan yang memaksa atau karena larut dalam arus massa yang bertindak tanpa dapat bertanggung jawab.
Bauman dengan etika postmodernnya juga menyadarkan kita untuk bertanggung jawab terhadap generasi masa depan. Hal ini ditunjukkan dengan memperlihatkan berbagai macam bahaya yang ditimbulkan oleh teknologi yang menimpa manusia serta membahayakan generasi berikutnya. Bagaimanapun juga sikap ini juga merupakan sikap bertanggung jawab terhadap yang lain sebagai Wajah (visage—Levinas).
Keberpihakannya pada yang lemah, tak berdaya, dan tak mempunyai kuasa merupakan salah satu nilai yang ditawarkan oleh etika postmodern. Teknologi yang menimbulkan berbagai macam dampak dalam lingkungan mendorong etika postmodern menjadi suatu sarana untuk memelihara dan melestarikan alam ini.[18] Oleh karena itu perlu pembatasan teknologi yang berpotensi mempunyai dampak perusakan lingkungan. Etika ini juga menempatkan manusia harus sebagai subyek teknologi bukan obyek atau justru korban teknologi.
Memang harus diakui bahwa pembahasan etika postmodern ini tidak akan memberikan aturan-aturan etika yang baku. Bahkan "insight-insight" yang telah dibahas inipun tidak akan memberikan aturan etis apapun. Bauman tidak memberikan sebuah kode etik untuk menggantikan kode etik modern yang sedang dibongkar. Postmodernisme hendak menyatakan bahwa pemahaman kondisi-kondisi moral itu sendiri dapat membuat hidup moral itu lebih mudah dipahami. Yang sedang paling diimpikan sebenarnya adalah membuat hidup lebih bermoral.
The Other adalah tanggung jawab dari diri moral. Ada bagi yang lain tidak menentukan kebaikan dan kejahatan. Being for Other akan membawa dalam sebuah dunia yang menghindari kepastian dan di mana tidak akan pernah menjadi sebuah garis batas yang jelas antara kebaikan dan kejahatan. Tanggung jawab moral adalah yang paling personal dan tidak dapat diasingkan dari apa yang dimiliki manusia, dan paling berharga dalam hak asasi manusia.[19]
Tanpa sebuah sistem etika yang lebih besar untuk menuntun mereka, etika untuk individu-individu menjadi materi-materi dari “diskresi individu, pengambilan resiko, ketidakpastian yang kronis dan rasa cemas yang tidak pernah terdamaikan”. Akhirnya, Bauman mengakui bahwa pemetaannya mengenai etika postmodern tersebut hanyalah salah satu kemungkinan dari banyak kemungkinan pemahaman mengenai fenomena kehidupan sosial saat ini.
Daftar Pustaka
Sumber Utama
Bauman, Zygmunt, Postmodern Ethics, Oxford: Blackwell Publishers Ltd., 1993.
Sumber Acuan:
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
http://belharz.20m.com/cgi-bin/framed/2011/books.htm
http://www.hsc.sunysb.edu/apap/archives/1999/2467.html
http://www.sociologyonline.co.uk/PopBauman.htm
http://Shaunbest.tripod.com/shaunbest/ids.html
Magnis-Suseno, Franz, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Sugiharto, Bambang & Agus Rahmat. W, Wajah Baru Etika dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Ritzer, George, Postmodern Social Theory, New York (etc): The McGraw-Hill, Inc., 1997.
Catatan Kaki
Penulis adalah alumnus STF Driyarkara dan sekarang menjadi pengajar di Xavier High School, Mikronesia.
[1] http://www.sociologyonline.co.uk/PopBauman.htm
[2] Ritzer, George, 1997, Postmodern, Social Theory, New York, The McGraw-Hill Companies, INC (hlm. 155) dan internet: http:/belharz.20m.com/cgi-bin/framed/2011/books.htm serta http://www.hsc.sunysb.edu/apap/archives/1999/2467.html.
[3] Zygmunt Bauman, Postmodern Ethics, Oxford: Blackwell Publishers Ltd., 1993, hlm. 2-3.
[4] Ibid., hlm. 3.
[5] Ibid., hlm. 8-9.
[6] Ketujuh butir ini merupakan ringkasan perspektif postmodern dari bukunya Zygmunt Bauman, op.cit., hlm. 10-15.
[7] ...the postmodern perspective on moral phenomena does not reveal the relativism of morality.....the postmodern perspective shows the relativity of ethical codes..... Ibid. hlm.14.
[8] Contoh: ungkapan “Aku siap mati bagi orang lain!” merupakan pernyataan moral dalam hubungan asimetri. Sedangkan ungkapan, ”Dia harus siap mati bagiku”, bukanlah pernyataan moral. Hal yang sama juga pada pernyataan yang menuntut hidup orang lain untuk tanah air atau suatu kelompok. Perintah moral ini tidak dapat diuniversalisasikan. Tidak boleh menempatkan apa yang menjadi bebanku menjadi beban orang lain. Bauman menjadikan cerita Kain dan Habil (Kitab Kejadian) sebagai penjelasan bahwa orang yang bermoral berarti menjadi penjaga bagi saudaranya, tanpa melihat apakah saudara itu juga melakukan hal yang sama dengan apa yang kita lakukan atau tidak. Ibid., hlm. 51).
[9] http://Shaunbest.tripod.com/shaunbest/ids.html.
[10] Bauman, 1993, op. cit., hlm. 40.
[11] Yang dimaksudkan dengan ras inferior adalah yang terbelakang, kurang bijaksana, tidak pandai, kekanak-kanakan dalam hal kemampuan berpikir dan potensi fisik yang belum dijinakkan. Ibid., hlm. 120.
[12] Yang termasuk miskin dan tidak terpelajar adalah yang digerakkan oleh dorongan-dorongan gelap daripada akal budi, bersifat tomak atau loba, bersusah payah dalam mencapai kesejahteraan dan kerja keras. Golongan ini juga daengan mudah mengalihkan kewajiban dengan kesenangan seksual, kurang berpikir mengenai masa depan, iri hati dan cemburu karena kebijaksanaan yang dimiliki orang lain. Ibid., hlm. 120.
[13] Wanita termasuk dalam golongan massa karena dibebani dengan campuran yang lebih besar antara animalitas dan pasangan laki-lakinya, tidak mampu mengikuti akal budinya secara konsisten karena ada dalam keadaan tetap serta dalam bahaya dialihkandan disesatkan oleh emosi. Ibid. hlm.120-121.
[14] Ibid. hlm. 190-191.
[15] Contohnya adalah : masalah udara dan air bersih. Polusi udara dapat disebabkan dengan adanya semakin banyaknya mobil-mobil pribadi. Penghapusan pembuatan mobil akan ditentang matian-matian oleh pemilik perusahaan, para karyawan dan pemilik modal lainnya. Hal ini juga berlaku bagi pabrik rokok, para penggembala kambing dan lain sebagainya. Kita secara mendalam tidak mempercayai pencampuradukan masalah sistem industri sebagai keseluruhan tapi masing-masing bagiannya dengan mudah menemukan manager dan karyawannya yang siap mempertahankan eksistensinya. Kita merasa ngeri dengan ladang pembantaian tapi tentu saja para pemilik, pekerja dan penjaga lokal akan mempertahankan keberadaan pabrik senjata tersebut. Kita memang menginginkan dunia yang aman dan damai namun para diktaktor kelas teri maupun kelas kakap mau dibujuk oleh para penjual senjata. Ibid. hlm. 205.
[16] Keterangan lebih lengkap mengenai kegagalan modernisme ini dapat dilihat dalam, Sugiharto, Bambang dan Agus Rahmat.W, Wajah Baru Etika dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
[17] Secara ringkas dapat dikatakan kemudian bahwa pada tingkat praksis operasional ternyata proyek modernisme telah melahirkan banyak paradoks. Situasi penuh paradoks inilah yang telah memicu refleksi yang mengkaji ulang dan menggugat segala paradigma modern. Dan orang suka menyebut sebagai situasi "post modern". Situasi macam inilah yang kemudian melahirkan berbagai slogan "modern", misalnya: bukan "regulasi" melainkan "deregulasi", bukan "kemajuan" melainkan "daur ulang", bukan prinsip-prinsip etis universal melainkan "phronesis" atau rule of thumb, tak diperlukan prinsip etis rasional yang "preskriptif" sebab yang perlu adalah intuisi yang "proskriptif" (yang memperingatkan tentang adanya bahaya). Ibid. hlm. 17.
[18] Bertolak dari pendapat Hans Jonas,”Bertindaklah sedemikan rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di Bumi. (Magnis-Suseno, Franz, 2000, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 176
[19] Bauman, 1993, op.cit., hlm. 250.
Read More..

POLITIK ISLAM


DISKUSI SERIAL "POLITIK ISLAM"
THE INTERNATIONAL INSTITUTEOF ISLAMIC THOUGHT,
JAKARTA, TANGGAL 25 JULI-2002
PETA ASAL-USUL PEMIKIRAN POLITIK BARAT
DARI YUNANI KLASIK HINGGA AWAL ABAD KE-21
(Butir-butir Pokok Bahasan)
oleh
Franz Magnis-Suseno SJ
Dalam kerangka pembahasan ini (1) disebut unsur-unsur terpenting yang muncul selama sejarah 2500 tahun terakhir dalam lingkungan budaya Eropa dan secara mendalam menentukan dasardasar etika politik "Barat" dewasa ini. (2) Dicoba ditarik sebuah sintesis.
Untuk download klik di sini
Read More..

Nasionalisme


Oleh Ismatillah A Nu'ad
My nationalism is humanity, Gandhi
Paham kebangsaan (nasionalisme) sebagai ideologi, telah diperkenalkan oleh para pendiri bangsa ini paling tidak sejak 6 dekade silam. Awalnya, konsep itu bersifat praksis digunakan sebagai instrumen untuk menyulut sentimen mengusir penjajahan (kolonialisme). Namun dalam perjalanannya, selama rentangan itu pertumbuhannya tak bisa dirasakan lagi secara praksis.
Di tengah kegelisahan, manakala banyak muncul problematika kebangsaan, menumbuhkan rasa kebangsaan yang dipahami secara praksis mungkin akan dapat membantu memulihkan identitas dan karakter bangsa ini. Ideologi nasionalisme dalam masa sekarang, misalnya, digunakan seiring untuk menyukseskan tuntutan-tuntutan reformasi yang belum tuntas, seperti pemberantasan KKN, pemulihan ekonomi, supremasi hukum, penegakan HAM dan menciptakan clean and good government.
Ada dua kemungkinan mengapa pengalaman kebangsaan itu menjadi tak tersadari atau tak terjaga. Pertama, boleh jadi orang yang berpendidikan, yang mengerti tentang konsep kebangsaan dan minimal pernah terselip dalam otaknya tentang wacana kebangsaan, namun ketika pengalaman kebangsaan itu teraktualisasi, ia tak merasa bahwa pengalamannya merupakan bagian dari praksis kebangsaan. Kedua, orang yang tak mengerti sedikit pun tentang konsep kebangsaan, biasanya identik ditujukan pada orang yang tak berpendidikan. Dataran itu, pengalaman kebangsaan yang dialaminya tak terjaga karena memang dia tak tahu bahwa hal itu merupakan bagian dari praksis kebangsaan.
Sesungguhnya, pengalaman kebangsaan yang disadari oleh seseorang, merupakan nilai moral yang sangat berarti bagi perjalanan panjang sebuah bangsa. Apalagi jika pengalaman itu kemudian membentuk satu kekuatan psikologis dalam diri seseorang, yang akhirnya diaktualisasi secara praksis. Misalnya, jika pengalaman kebangsaan itu disadari oleh seorang pegawai di lingkungan pemerintahan, paling tidak ia bisa menghindari praktik-praktik korupsi dan bentuk penyelewengan lainnya, karena besar ataupun kecil, secara moral tindakan manipulasi tetap merugikan negara dan bangsa.
Ada beragam pengalaman kebangsaan yang mungkin dapat menumbuhkan (baca: rebuilding) rasa nasionalisme Indonesia yang katanya "Unity in Diversity" itu. Dalam arti, nasionalisme di situ dapat dirasakan secara kultural dan dapat diaktualisasi secara praksis impresinya bagi kepentingan negara-bangsa.
Pertama, pengalaman kebangsaan dilihat secara sosiologis-antropologis. Kita melihat, misalnya, beraneka ragam corak sosial-antropologis yang dimiliki bangsa ini. Ada klan (etnik, suku bangsa, persekutuan) Jawa, Sunda, Betawi, Banten, Bali, Padang , Batak, Bugis, Makassar, Madura, Ambon , Aceh, Papua, dan lain-lainnya. Semua klan itu, baik secara komunal di daerahnya masing-masing maupun di tingkatan nasional yang sudah berbaur satu dengan lainnya, merupakan ciri khas sosial-antropologis kebangsaan Indonesia . Klanisme kemudian tak malah menjadi sebentuk nasionalisme-etnik yang sangat komunal dan membahayakan bagi nasionalisme itu sendiri. Beragam klan dalam tubuh suatu bangsa, merupakan potensi, yang semestinya diaktualisasi supaya menjadi bangsa yang besar
Ditambah lagi dengan klan pendatang, namun secara geneologis sudah merupakan satu paket (include) dalam tipe sosial-antropologis bangsa ini. Seperti ada klan Arab dan Cina. Dua klan yang sudah mendarah-daging, dan tak bisa dipisahkan dengan klan-klan asli kebangsaan ini. Secara geneologis, "klan asing" yang berhubungan dengan kondisi sosial-antropologis bangsa ini awalnya paling tidak karena dua hal (terutama klan Arab). Pertama, karena kepentingan dagang, atau kepentingan ekonomi. Kedua, karena kepentingan dakwah agama.
Kedua, pengalaman kebangsaan dilihat secara kultural/kebudayaan. Hal mana, setiap klan, etnik atau suku bangsa dalam dimensi sosial-antropologis itu, memiliki kekayaan kebudayaan yang harus dilestarikan. Kebudayaan itu merupakan cerminan untuk melihat dan meneropong lebih jauh rasa nasionalisme. Seperti ada Lenong dan Ondel-ondel dari Betawi, ada Debus dari Banten, ada tarian Saman dari Aceh, ada tari Kecrek dan Barong dari Bali, ada 'lompat batu' dari kepulauan Nias, dan sebagainya. Semua kebudayaan itu merupakan ciri khas nasionalisme Indonesia yang mesti tetap tertanam. Sehingga dapat menumbuhkan rasa kecintaan terhadap bangsa dan tanah air.
Ketiga, pengalaman kebangsaan dilihat dari segi kekayaan pariwisata. Kita melihat Indonesia memiliki lokasi-lokasi strategis yang eksotik, indah dan menawan. Juga, keindahan Pulau Dewata, Pulau Lombok yang eksotik, bangunan Candi Borobudur dan candi-candi lainnya di Jawa Tengah, dan sebagainya. Sesungguhnya lokasi-lokasi itu dapat memberi spirit nasionalisme, rasa kepemilikan terhadap tanah air. Kekayaan alam serta keindahan yang ada di dalamnya dan peninggalan-peninggalan bangunan cagar-budaya, semua "nomenklatur" keindahan itu harus dijaga, karena dapat menumbuhkan spirit nasionalisme.
Menumbuhkan rasa kebangsaan, di alam modernitas-globalitas, tentunya sangat signifikan. Globalisasi dalam berbagai bentuknya, tentu sedikit demi sedikit, sudah melunturkan rasa nasionalisme dan rasa kepemilikan terhadap tanah air. Ia sudah menggerogoti identitas sosial-antropologis dan kebudayaan. Kita, misalnya, melihat di kalangan kaum muda, dimana trend-trend budaya pop (pop culture) yang ditawarkan kebudayaan-global, diterima taken for granted, seakan-akan tak punya konsekuensi yang paling fundamental bagi nasionalisme itu sendiri.
Nasionalisme dengan beragam derivasi di atas, merupakan karakter yang tak boleh hilang. Ia merupakan identitas yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, karena justru di alam modernitas-globalitas, identitas nasional itu menjadi penting. "Kita tak boleh ditenggelamkan oleh raksasa-raksasa global," kata Mochtar Lubis dalam Tajuk Indonesia Raya pada akhir dekade 1960-an, yang ketika itu penguasa Orde Baru hingar-bingar menjajal kebijakan deregulasi ekonomi.(Mallarangeng: 2002). Identitas merupakan modal, dan pasang atau surutnya suatu bangsa di alam modernitas-globalitas, justru mempertanyakan sejauh mana identitas itu dijaga atau ditinggalkan. Percaya pada identitas kebangsaan sendiri atau mengekor dalam kedigdayaan bangsa-bangsa lain. ***
Read More..

SILOGISME


Silogisme adalah cara penarikan kesimpulan dari dua proposisi. Kedua proposisi itu disebut premis-premis. Sedangkan kesimpulannya disebut konklusi.
Predikat daripada konklusi disebut term mayor. Subyek daripada konklusi disebut term minor. Premis yang mengandung term mayor disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung term minor disebut premis minor.
Contoh silogisme :
1. semua manusia bernapas dengan paru-paru
2. ahli logika adalah manusia
3. ahli logika bernapas dengan paru-paru.


ATURAN SILOGISME
1. Tiap-tiap silogisme hanya ada tiga term, yaitu term mayor, term minor, dan term menengah. Term menengah adalah penghubung dua term yang lain. Apabila tidak ada term menengah maka konklusi tidak dapat ditarik.
2. term menengah harus tersebar dalam premis. Paling sediki dua kali.
3. bila sebuah term distributet dalam konklusi maka harus distributet dalam premis.
4. bila dua premisnya afirmatif maka konklusinya afirmatif.
5. bila salah sebuah premisnya negatif maka konklusinya mesti negatif.
6. bila kedua premisnya negatif konklusinya tidak bisa ditarik.
Akibat dari peraturan tersebut masih dapat ditarik aturan-aturan tambahan yaitu:
1. Jika kedua premisnya khusus maka tidak dapat ditarik kesimpulan.
2. jika satu premisnya khusus maka konklusinya mesti khusus.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan-peraturan itu akan mengakibatkan sesat pikir.

JENIS-JENIS SILOGISME
1. Silogisme kategoris adalah silogisme yang terdiri dari tiga proposisi kategori. Yaitu dua buah premis dan sebuah konklusi. Hubungan antara termterm tidak bersyarat.
2. Silogisme hipotetis adalah yang bersyarat. Yaitu premis mayornya suatu proposisi hipotetis kondisional, hipotetis disjungtif atau hipotetis konjungtif. Sedang premis minornya mengingkari atau membenarkan salah satu alternatif. Maka kesimpulannya adalah proposisi kategoris. Silogisme semacam ini adalah silogisme campuran.
Contoh :
a. Silogisme kondisionil
Jika Andi rajin belajar ia akan lulus ujian
Andi rajin blajar
Maka Andi lulus ujian.
b. Silogisme disjungtif
Andi adalah orang yang rajin bekerja atau pemalas.
Andi adalah orang yang rajin bekerja
Jadi ia bukan pemalas
c. Silogisme konjungtif
Andi tidak membaca dan tidur serentak
Andi tidak membaca
Jadi Andi tidur.
Silogisme hipotetis yang murni yaitu dua premisnya dan konklusinya proposisi hipotetis (bersyarat).
Contoh :
Hipotetis Kondisional
Jika lama tidak turun hujan, sawah kering.
Jika sawah kering, padi tidak tumbuh
Jadi jika lama tidak turun hujan padi tidak tumbuh.
Silogisme yang tidak sempurna
Enthymema adalah sejenis silogisme. Salah satu premisnya tidak disebut.
Contoh :
Semua orang boleh menyatakan pendapatnya.
Jadi saya boleh menyatakan pendapat saya.
Ada premis yang dihilangkan kalau ditulis lengkap :
Semua orang boleh menyatakan pendapatnya
Saya adalah orang
Jadi saya boleh menyatakan pendapat saya.
Read More..

PRIBADI ROH KUDUS


Roh Kudus adalah satu pribadi dari Allah Trinitas. Yesus sebelum naik ke sorga menyatakan kepada murid-Nya pribadi Roh Kudus: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Matius 28:19). “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, …” (Kisah 1:8). Di sini dengan jelas menempatkan Roh Kudus pada kedudukan yang sama seperti Bapa dan Putra-Nya.
lebih lengkap download di sini
Read More..

Buruh Perkebunan


Berbicara tentang sebuah instansi perkebunan, maka kita akan menyinggung permasalahan sistem birokrasi yang memiliki kewenangan dalam menentukan arah perkembangan perkembangan, dengan kebijakan-kebijakan dan program-program yang di usung guna meningkatkan pendapatan kebun. Namun permasalahannya adalah bahwa kebijakan selalu mencakup struktur yang mendua. Di satu sisi kebijakan mempunyai dimensi instrumental dalam menghasilkan keputusan, program, dan hasil lainnya dengan nilai-nilai yang diyakini para aktor pengambil kebijakan, adanya seperangkat hubungan dalam kebijakan yang merupakan jalur komunikasi norma-norma etika dan moral, proses membangun jalinan kepercayaan (trust) dan solidaritas antaraktor. Di sisi lain kebijakan dapat menghasilkan “nilai-nilai” yang antinilai seperti dominasi dan proses nondevelopmental. Setidaknya itu yang diutarakan Mark Considine dalam bukunya Public Policy A Critical Approach (1994).
Fakta tersebut tidak bisa kita pungkiri, bahwa dominsi, eksploitasi bahkan intimidasi dari pihak perkebunan seringkali menjadikan kaum buruh korban dari kebijakan-kebijakan perkebunan yang kurang tepat, bahkan kadang kala keluar dari ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Permasalahan paling sering dihadapi oleh buruh pekebunan adalah tidak sesuainya gaji yang mereka terima dengan ketetapan UMK yang berlaku di suatu daerah.
Dari data yang berhasil diperoleh dari wawancara dengan beberapa buruh di daerah Gunung Pasang dan Gentong, ternyata masih dering terjadi eksploitasi yang dlakukan oleh para penguasa perkebunan terhadap buruh, seringkali hal-hal yang seharusnya merupakan hak-hak kaum buruh masih seringkali dipangkas, misalnya upah kerja buruh masih dibawah UMK kab. Jember, dan Jamsostek yang seharusnya mencakup jaminan hari tua, kesehatan keluarga masih belum bisa didapatkan oleh buruh perkebunan tersebut.
Tidak adanya kontrak kerja disatu pihak dan banyaknya pemecatan terhadap karyawan tetap dilain pihak merupakan salah satu bentuk dari kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Direksi PDP di daerah tersebut terhadap buruh. namun anehnya buruh masih tetap menganggap bahwa hal itu bukanlah masalah. Seperti yang disampaikan leh P. MIsru’din “Pihak PDP gentong sudah cukup baik dalam memperhatikan kesejahteraan karyawan kebun, dengan memberikan jaminan kesehatan terhadap karyawan dan jaminan kecelakaan, yakni dengan ganti rugi”.
Akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut, seringkali buruh seringkali buruh tidak mengerti ketentuan-ketentuan atas Undang-Undang yang berkaitan dengan tetek bengek masalah ketenagakerjaan dan perburuhan. Sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang di eksploitasi oleh para setan kebun. Sebagai contoh, tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) di perkebunan Gunung Pasang tidak direspon oleh para buruh. yang menjadi penyebabnya adalah buruh tidak mengerti apa itu jamsostek? Apa fungsi dan kegunaannya?
Kalaupun ada misalnya, seperti di daerah Gentong, namun tetap tidak terjadi secara penuh, misalnya hanya terbatas pada orang yang melakukan pekerjaan, sedangkan keluarganya tidak. Padahal dalam UU no 3 tahun 1992 pasal 16 ayat 1 disebutkan bahwa “Tenaga kerja, suami atau istri, dan anak berhak memperoleh Jaminan Pemeliharaan Kesehatan”.
Jika demikian bisa dikatakan apa yang dilakukan oleh Direksi PDP Gentong ini merupakan bentuk lain dari penjajahan atau kekerasan struktural, dimana terjadi dominasi terhadap sarana dan prasarana pekebunan. Akibatnya hak-hak kaum buruh seringkali dikesampingkan dan tidak diberikan sebagaimana mestinya. Kaum buruh hanya menjadi klien dari “setan-setan” kebun. Buruh hanya menjadi alat bagi terpenhinnya kebutuhan hidup para penguasa.
Dengan dasar argumentasi diatas maka bisa ditarik sebuah benang merah bahwasannya kesadaran kelas, kesadaran akan kondisinya masih belum terbangun, sehingga sangat mudah terjadinya eksploitasi terhadap kaum buruh oleh pihak Direksi dalam kondisi yang demikian. Selain itu adanya intimidasi dari direksi terhadap buruh telah menyebabkan buruh bungkam dan tidak memberikan perlawanan. Represi yang dilakukan oleh pihak penguasa telah mencegah tumbuhnya kesadaran, yang di akibatkan ketakutan akan kehilangan tempat tinggal dan pekerjaannya.
Maka perlu sebuah proses pembentukan kesadaran, yang kemudian harus di follow up ke arah perlawanan terhadap kaum penguasa, dimana dalam hal ini adalah jajaran direksi PDP. Kesadaran tersebut harus dibangun dari kondisi sosial masyarakat buruh itu sendiri. Kesadaran kelas menrupakan titik tolak dalam proses pembentukan kepentingan kelas,
Marx menganggap bahwa Kepentingan Klas ditentukan oleh kesadaran Klas terhadap posisi dan peranannya dalam sistem produksi sosial. Kepentingan yang dimiliki oleh kelas buruh perkebunan terhadap proses berjalanannya perkebunan harus disadari terlebih dahulu oleh kelas buruh di daerah Gunung Pasang dan Gentong tersebut.
Read More..

Bermula dari silogisme Aristoteles


Silogisme Aristoteles, sebuah perjalanan logika deduktif yang amat panjang sejak 2500 tahun yang silam, sejak Aristoteles dilahirkan di Stagira 384 SM, tetapi logika ini akan tetap aktual dalam perjalanan manusia mencari makna diri di alam semesta ini, bahkan sesungguhnya silogisme Aristoteleslah yang mendasari prinsip-prinsip Antropik Kosmos (Cosmic Anthropic Principles). Konsep silogisme Aristoteles adalah konsep dasar tatkala kesadaran manusia harus menapak awal melihat fenomena alam semesta dan mulai menganalisa keajaiban kehidupan bumi, kemudian manusia menyadari bahwa dirinya sendiri akan menjadi tiada seperti spesies makhluk hidup lainnya, mortal.

Silogisme Aristoteles lebih mudah difahami dari persamaan matematika berikut, jika A = B dan B = C maka A = C

A B C

Inilah pertanyaan-pertanyaan abadi tentang kesadaran manusia :
1. Jika kita harus berkata bahwa kesadaran manusia itu lahir dari kegelapan goa goa awal peradaban manusia, maka adalah logis jika suatu hari kelak kita akan lahir kembali dalam kondisi yang sama, kegelapan di goa awal peradaban. Dalam bentuk silogisme Aristoteles A = B = C.
2. 100.000 tahun lalu, dimana kesadaran semesta itu berada? Apakah masih berevolusi dalam diri dalam spesies Homo Erectus?
3. 10.000 tahun lalu, peradaban manusia lantas muncul dan sampai saat ini, apakah yang sebenarnya terjadi pada 200 milyar sel syaraf spesies manusia? Angka 10,000 tahun adalah tidak sebanding dengan 3 juta tahun atau 4.5 milyar tahun yang silam untuk menyatakan bahwa kesadaran manusia itu baru memulai evolusi. Angka 10,000 tahun lebih tepat kita lihat sebagai fenomena revolusi kesadaran semesta dari munculnya kesadaran manusia.
4. Sederhananya bandingkan 200 milyar sel syaraf manusia itu dengan sebuah transformator listrik. Jika input transformator adalah fungsi tegangan/arus/frekwensi listrik A maka outputnya adalah fungsi tegangan/arus/frekwensi B. Sedangkan input dari 200 milyar sel-syaraf kita adalah suatu 'Dimensi Kesadaran Semesta' yang memang kekal eksistensinya melihat 'Masa Depan Semesta' sebagai ouputnya. Fungsi kesadaran manusia adalah untuk melihat Masa Depan Semesta sambil 'bermain-main' di Bumi ini, tetapi bukan untuk mengeksekusi Semesta Kosmos sejauh 13.7 milyar tahun cahaya.
5. Kita bertemu di bumi berbangsa-bangsa berbeda bahasa adalah untuk memahami bahwa Bumi tinggal Satu untuk kelak menghadap Sang Pencipta. Pada akhirnya manusia akan faham bahwa Logika Hari Kiamat adalah realitas indahnya Keabadian Kesadaran Semesta, betapapun perbedaan kita dalam bermimpi tentang makna keabadian.


Fungsi Kesadaran Semesta >> 200 milyar sel-syaraf manusia >> Fungsi Masa Depan Semesta

Fungsi (V,I,f,A) >> transformator listrik >> Fungsi (V,I,f,B)


Tatkala kesadaran manusia harus muncul dan tumbuh, maka mulailah kita mencari asal muasal kesadaran itu muncul. Kesadaran kita akan selalu mengarah kepada penyederhanan dan penyederhanaan dari kompleksitas observasi seorang manusia seperti Aristoteles. Solusinya adalah membuat sistematika yang logis dengan cara membuat klasifikasi, inilah cara berfikir logis sang jenius Aristoteles tanpa mikroskop dan tanpa teleskop disampingnya. Kita membayangkan pribadi pribadi pengamat kosmos seperti Plato, Socrates, atau Aristoteles yang harus berfikir tentang alam semesta tanpa penemuan dasar seperti mikroskop, teleskop, atau mesin cetak Gutenberg, maka hasilnya berupa istilah klasifikasi orisinal mereka seperti analytica, dialectica, physica, matematica , scientifica, etica, politica, medica adalah penemuan luar biasa. Lucunya saat kini kita seolah kembali ke cara berfikir ala Aristoteles dimana pada saat ini fitrah manusia millennium mengalami ‘kebuntuan kosmologi’ dalam menyimpulkan angka 13,700,000,000 tahun cahaya. Lantas apa maknanya silogisme Aristoteles 2500 tahun silam dan prinsip antropika millennium dalam memandang kosmos. Jangan jangan Aristoteles-lah yang benar bahwa bumi adalah pusat alam semesta, dan paling tidak kesadaran manusia di bumi adalah satu satunya kesadaran yang pernah ditemukan di alam semesta, jadi barangkali bumi-lah pusat kesadaran kosmos semesta. Karena Sang Pengamat Kosmos cuma Satu adanya di Bumi, Sang Manusia. Quo Vadis Aristoteles !!!

Referensi kita bermula pada definisi pra sejarah dan sejarah tulis menulis, dan kita mengacu pada angka 10,000 tahun sejarah manusia di bumi, maka sebelum 10,000 tahun kita menganggap sebagai bagian kehidupan manusia purba pra sejarah. 'Dawn of Civilization' atau 'Fajar Peradaban' bermula dari tepian sungai Eufrat Mesopotania, Timur Tengah, tepatnya di Irak masa kini, atau juga boleh jadi bermula di tepian sungai Gangga, Harappa India. Namanya juga fajar , maka pada umumnya suasana fajar itu berkabut, karena belum penuh disinari terangnya sang surya, jadi kita susah susah gampang melacaknya lewat arti guratan-guratan batu bertulis. Seorang bayi manusia akan terlahir sama dalam melihat kesadaran sekelilingnya, karena mungkin tidak bisa melihat jelas bayang-bayang ibunya yang mengasihinya, lantas ia menangis sekeras-kerasnya menyatakan bahwa dirinya hadir di alam semesta ini. Ia akan tumbuh sadar dan akan dapat menatap takjub kepada dunia memulai suatu proses kesadaran semesta. Mungkin kondisi ekivalen silogis ini adalah sama pada saat ini manusia mencoba membayangkan bentuk dan nasib kosmos sejauh 13,700,000,000 tahun cahaya, maka kabur mata penglihatan fikiran kita, apa sesungguhnya makna 10,000 tahun dibandingkan dengan angka tak berhingga itu? Sungguh diluar kekuasaan manusia!!

Bayangkan perjalanan peradaban manusia 7500 tahun dahulu dari Mesopotania, 5000 tahun silam dari Mesir, 2500 tahun berlalu kemarin dari Yunani dan Romawi , dan cobalah bayangkan apakah yang terjadi 10,000 tahun kelak mendatang. Bayangkan manusia harus melepaskan ketergantungan energi fosil dan seharusnya juga ketergantungan akan keinginan pengunaan energi nuklir di masa depan !!! Kemudian coba bayangkan ‘segmen segmen kubus’ 10,000 tahun itu kita susun agar terbentuk piramida bervolume 13.7 milyar tahun. Lantas apakah kita percaya, bahwa segmen 10,000 tahun kesadaran manusia itu saat ini sekarang tepat berada di puncak piramida ruang waktu menghadap Wajah Sang Maha Pencipta pada jarak 10exp(-100) meter?

Ketika Aristoteles pada akhirnya menyimpulkan bahwa bumi adalah pusat alam semesta, maka pandangan yang salah inipun belum mampu membuat manusia milenium menemukan makhluk hidup lain selain di permukaan bumi ini. Ketika kita harus bertanya tentang diri kita sendiri, maka kita sampai saat ini masih berdebat apakah kesadaran manusia itu hanya sekadar proses materi kimiawi plus foton plus elektron, atau kesadaran kita itu sebenarnya adalah proses kesadaran di luar ruang waktu fisik materi, artinya kesadaran kita saat ini sebenarnya ‘tidak berlokasi’ di bumi, hanyalah materi tubuh kita yang berada di bumi, atau orang bilang bahwa kesadaran kita itu adalah metafisika. Hebatnya kesadaran ‘metafisika’ ini telah mampu menunjukkan eksistensinya selama 4.5 milyar tahun sejak zaman eon Hadean di muka bumi ini, dimana salah satu proses perdananya adalah ‘tugas melukis’ angkasa menjadi berwarna biru dari asalnya yang berwarna kelam kelabu. Ini jelas bukanlah pekerjaan 10,000 tahunan, dan itu pasti memerlukan atmosfir yang mengandung oksigen, nitrogen, uap air sehingga langit angkasa akan menjadi berwarna biru. Lantas dari mana berasalnya oksigen, kalau bukan berasal dari proses fotosintesa makhluk makhluk hidup prokaryota(semacam plankton) bermilyar tahun lamanya berinteraksi dengan foton cahaya matahari.

Saat ini kita menyadari adanya hubungan yang erat antara materi, energi , dan 'kesadaran' itu adalah vektor vektor ruang waktu yang realitasnya adalah 'dominan' yang barangkali memang 'kesadaran nyata' itu diperlukan untuk menetukan masa depan kosmos, karena angka 4.5 milyar tahun kehidupan bumi adalah setara dengan angka 13.7 milyar tahun sejak 'Ledakan Besar', tetapi angka 10,000 tahun kesadaran manusia di bumi adalah 'begitu kecil dan tidak berarti' secara matematis dibanding dengan angka raksasa 13,700,000,000 tahun perjalanan cahaya. Tetapi apakah kesadaran manusia itu hanyalah serpihan debu angkasa luar yang mampir ke bumi? Kenapa baru muncul 10,000 tahun dan kita seperti mempunyai tugas mengukur dimensi ruang waktu, materi, energi, dan kehidupan itu sendiri, kemudian terkadang kita bertanya siapakah sebenarnya 'kita' dan sebenarnya tugas kita untuk apa ?

Pada saat ini ketika realitas pengertian kosmos menjadi buntu akibat ukuran 13.7 milyar tahun cahaya yang sedemikan raksasanya, maka logika deduktif Aristoteles cukup menolong menenangkan fikiran kita tentang kesadaran sendiri yang selalu mentok dengan persoalan keterbatasan mortalitas, di lain sisi kita selalu ingin memberontak bahwa kita ingin bermimpi mempunyai kapasitas imortalitas. Jadi kita akan selalu menghadapi realitas yang absurd !!!! Tetapi dengan silogisme Aristoteles ataupun prinsip Antropika (Anthropic Principles), kita akan mencapai suatu pengertian dalam pencarian kausal mendekati suatu pemahaman akan adanya 'Prima Causa'.

Bermula kita menjadi bahagia atas kehadiran pemikiran Einstein bahwa materi itu mempunyai hubungan khusus dengan cahaya dan totalitasnya adalah energi kosmos yang tertuang dalam formulasi E=mc2. Secara sederhananya bahwa materi itu diperintahkan untuk bercahaya, maka kita dapat melihat bahwa materi bintang bintang nun jauh galaksi disana akan mengeluarkan cahaya lewat proses fusi nuklirnya yang berlangsung bermilyar tahun cahaya. Sebuah keseimbangan materi dan energi kosmos dimana cahaya adalah tetapan abadi 300,000 km/detik dalam ruang vakum. Ruang waktu boleh melengkung tetapi cahaya akan tetap abadi menyinari alam semesta dengan konstan.

Jika kita terus bertanya dari mana asal muasal materi dan energi kosmos sejak bermulanya Ledakan Besar 13.7 milyar tahun cahaya, maka lagi lagi kita mengalami ‘Pertanyaan Besar’. Sebaiknya kita menikmati perjalanan asal muasal keindahan kehidupan di bumi dimana hubungan antara makhluk hidup dengan materi dan energi(cahaya matahri) sudah demikian lamanya sejak zaman eon Hadean sekitar 4.5 milyar tahun lalu. Bagaimana mengubah lautan H20(rumus molekul air) yang berwarna kehitaman menjadi berwarna indah kebiruan dan terkadang kehijauan di kedalaman laut yang kita pandang. Sebelum terisi oleh makhluk makhluk hidup yang bergerak seperti ikan, maka lautan di permukaan bumi ini seolah seperti dasar kanvas yang akan dilukis dengan warna dasar biru. Orang bilang warna dasar cinta kasih adalah biru, tepatnya biru laut.

Kesadaran manusia selalu mencari jalan menuju ‘keabadian’ apapun perbedaan pendapat manusia tentang arti keabadian. Kita menyadari bahwa kita mortal dan kita faham lawan kata mortal adalah imortal. Jika kita menyatakan bahwa hidup kita sebentar hanya berkisar di angka sekitar 70 tahun, hal itu adalah realitas, tetapi ternyata kehidupan di bumi telah berlangsung 4.5 milyar tahun , maka secara total kita melihat adanya suatu fenomena 'imortalitas', dan kita dapat meneruskan hipotesa kita tentang adanya 'keabadian'. Mungkin boleh saja kita menduga bahwa kehidupan itu mestinya abadi, dan 'kita' akan kembali ke suatu 'Titik Awal', dimana manusia akan selalu berdebat tentang 'Titik Awal' itu sendiri, apakah 'Titik Awal' hanyalah berupa 'Ledakan Besar' 13.7 milyar tahun lalu.

Jika kita berbicara tentang 'Titik Awal' kesadaran kita, maka boleh saja kita menyatakan bahwa setiap manusia berasal dari 1(satu) sel zygote yang kemudian mengalami ‘Ledakan Besar’ selama 17 tahun menjadi dewasa dan menjadi manusia besar dengan jumlah sel sebanyak 30 triliun sel hidup dalam tubuhnya. Siapa bilang mudah mengatur pertumbuhan dari satu sel zygote menjadi 30 triliun sel yang berorganisasi secara sempurna dan seimbang, ini suatu fenomena hebat, bahkan mungkin lebih hebat dari proses lahirnya bintang bintang galaksi tahunan cahaya nun jauh disana. Belum lagi kalau kita melihat warna warni keberagaman species makhluk hidup, sampai dengan keinginan kuat kita mengetahui kronologi perjalanan panjang 'tarian abadi double-helix' DNA/RNA berinteraksi dengan materi dan energi cahaya matahari di permukaan bumi. Ini semua membuktikan bahwa kita ingin tahu dan selalu mencari apa arti 'Titik Awal' memori, Mem-Origin disingkat menjadi Memorigin.
Read More..

KEBENARAN PENGETAHUAN


1. Pengetahuan dapat dimengerti sebagai kesadaran subyek pengenal tentang obyek yang dikenalinya. Kesadaran itu diperoleh dengan bantuan peralatan pengumpulan data yang sesuai. Pengetahuan tersebut dapat subyektif, dapat pula bersifat obyektif. Disebut subyektif jika aneka pandangan, faham dan selera yang ada pada subyek pengenal berperan besar, langsung atau tak langsung, dalam proses mendapatkan kesadaran tersebut. Sebaliknya disebut obyektif, jika unsur-unsur yang bersifat spesifik ada pada diri subyek pengenal tersebut tidak ada.

Dalam keseluruhan proses pengetahuan ada dua hal penting, yaitu evidensi dan kepastian. Evidensi terletak pada fihak obyek, sedang kepastian ada pada fihak subyek. Evidensi dapat dimengerti sebagai daya obyek untuk menampakkan diri, sedang kepastian adalah keyakinan pada diri subyek bahwa yang dikenalnya adalah benar-benar obyek yang ingin diketahuinya. Keduanya perlu dilihat dari sudut kesatuan asli subyek dan obyek dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya.


Makin dekat bidang ilmu itu pada pengalaman manusia seutuhnya, makin besarlah kesatuan subyek dan obyek, dan makin besar pulalah peran subyek dalam kesatuan subyek-obyek tersebut. Dalam arti itu evidensi dan kepastian sangat diwarnai oleh subyektivitas. Sebaliknya, makin jauh bidang ilmu itu dari pengalaman manusia seutuhnya, makin kurang kesatuan antara subyek dan obyek, dan makin kuranglah pula peran subyek didalamnya. Dalam hal itu evidensi dan kepastian diwarnai oleh obyektivitas, yang ditentukan dari luar pengalaman.

2. Kebenaran berkedudukan dalam diri si pengenal. Kebenaran adalah kenyataan adanya ("being") yang menampakkan diri sampai masuk akal. Maka kebenaran dapat dimengerti sebagai penyamaan akal dengan kenyataan. Itu terjadi pada taraf inderawi atau pada taraf akal-budi, akan tetapi tidak pernah sampai pada kesamaan yang sempurna. Ilmu-ilmu empiris mencoba mengejar kesamaan itu dengan aneka cara yang khas ada pada ilmu itu. Ilmu-ilmu pasti tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran tersebut, tetapi ilmu-ilmu pasti dapat memberi sumbangan positif kepada ilmu-ilmu di luar ilmu itu untuk makin dekat kepada kebenaran sejati (apapun itu sesungguhnya).

Thomas Aquinas (seraya mengakui sumbangan para filsuf Yahudi dan Islam yang mendahuluinya) membedakan veritas ontologica (kebenaran ontologis) dari veritas logica (kebenaran logis). Yang pertama terdapat dalam kenyataan (entah spiritual maupun material) yang masih lepas dari gejala pengetahuan, meskipun ada kemungkinan bahwa akan diketahui atau dikenal. Yang kedua terikat kepada akal si pengenal. Yang kedua inilah kebenaran dalam arti sesungguhnya, yaitu penyamaan akal dengan kenyataan.

Adalah Descartes yang menambahkan kriterium bagi kebenaran. Cara untuk mengenal ada atau tidak adanya kebenaran ialah ada atau tidak adanya idea yang jelas dan terpilah-pilah mengenai sesuatu itu (idea clara et distincta). Maka Descartes menganjurkan penerapan sikap kesangsian radikal sebagai alat uji bagi kebenaran.

3. Patut dibahas langkah yang benar menuju kepada kebenaran pengetahuan (khususnya yang berkaitan dengan alam, termasuk manusia sebagai bagian dari alam). Misalnya, dalam meneliti gejala yang secara umum disebut "piring terbang" (kemungkinan kunjungan makhluk angkasa luar), "surga dan neraka" (benarkah ada?, dimana?), "kematian" (adakah hidup sesudah mati?, kemana jiwa manusia pergi?, apakah hanya di sekitar kita, tetapi kita tak mampu kontak dengannya?), metode apakah yang kiranya menjamin kebenaran pengetahuan yang dihasilkan?

Salah satu langkah yang patut dipertimbangkan adalah memanfaatkan metode logika deduktif, yang mengandalkan silogisme (penyimpulan). Tanpa menyinggung bahan yang dipakai sebagai titik tolak penerapan metode ini, terhadap gejala-gejala alami, Francis Bacon (1561-1626) yakin bahwa metode ini tidak cukup membawa kepada kebenaran karena "kepelikan alam jauh lebih besar daripada kepelikan argumen". Bacon, seperti halnya Galileo, memakai logika dalam rangka membentuk hipotesis, namun kebenaran masih harus diuji melalui pembuktian empiris. Dengan lain perkataan langkah yang tepat adalah gabungan antara metode logika-deduktif dan logika-induktif.

Namun Hume (1711-1776) mengingatkan bahwa logika-induktif tidak memiliki dasar teoritis sama sekali, bahkan bertentangan dengan salah satu hukum logika, bahwa kesimpulan tidak dapat lebih luas daripada kedua premisnya. Maka Hume menegaskan bahwa pengetahuan empiris tidak akan dapat melampaui wilayah yang dicakup oleh data pengamatan yang terkumpul.

Sadar akan kritik Hume tersebut, Kant (1724-1804) sampai kepada pendirian, bahwa obyek itu sendiri ("das Ding an sich") tidak dapat dikenal manusia. Yang bisa dikenal hanya yang terjadi dalam diri si pengenal, yaitu kesan-kesan yang diterimanya dari luar dan diatur ke dalam katagori-katagori a-priori akal budi. Hukum-hukum alam hanya ada dalam diri manusia, sedang yang ada di luar manusia tidak akan diketahui oleh manusia. Ini sejalan dengan Einstein, yang pada dasarnya menegaskan, bahwa "satu-satunya justifikasi bagi pengetahuan kita tentang alam raya, termasuk sistem-sistem dalam alam raya, ialah bahwa itu semua hanya merupakan akumulasi dari pengalaman kita; -- di luarnya kita tidak memiliki legitimasi."

Sepakat dengan Hume akan cacat dari metode induksi, John Stuart Mill (1806-1873) mengakui sahnya metode deduksi. Namun dari manakah pengetahuan premis mayor yang bersifat umum itu yang tidak didapatkan dari pengamatan? Premis mayor yang hanya mengawang tanpa melalui pengamatan dan tanpa kepastian tidak ada gunanya. Maka Mill mengusulkan suatu proses yang membawa premis mayor secara bertahap makin menjadi pasti.

Mustahilnya pembenaran atas proses induksi, membawa Karl Raimund Popper (1902-?) kepada prinsip falsifiabilitas: pada dasarnya hukum-hukum alam dapat dibuktikan salah. Pada dasarnya lebih mudah membuktikan kesalahan sebuah daripada membuktikan kebenarannya. Maka kebenaran hukum alam, teori atau pengetahuan hanya dapat dicapai melalui usaha pengujian sampai tidak ada alat uji yang mampu membuktikan kesalahan hukum alam, teori atau pengetahuan itu. Proses eliminasi yang makin keras mengurangi kadar kesalahan dan kekeliruan, dan dengan itu makin mendekati kebenaran obyektif.

Implisit, Popper menegaskan kesementaraan ilmu dan pengetahuan; sementara dalam arti bahwa ilmu pengetahuan itu terbuka untuk dibuktikan salah. Jika tidak begitu, ilmu dan pengetahuan merosot menjadi ideologi (yang tertutup), dan itu, menurut Poper, patut dikutuk sebagai berbahaya bagi umat manusia.

4. Jika kita membatasi diri pada ilmu pengetahuan alam dan mencoba bertanya tentang realitas-realitas (sejauh itu dapat disebut realitas) "piring terbang", "surga dan neraka", "jin dan malaikat" dan sebagainya, mengapa ilmu pengetahuan kayaknya begitu terbatas kemampuannya? Dengan peralatan canggih seperti dimiliki manusia dewasa ini mengapa hanya sedikit (itupun jika ada) yang dapat diperoleh? Apakah ada harapan dikemudian hari misteri yang menyelimuti realitas itu menjadi terungkap, dan kebenarannya (atau ketidak-benarannya) dengan tegas ditegakkan?

Patutlah dicermati bahwa khazanah pengetahuan kita tentang fisika (dan kimia) bertumpu pada teori tentang materi dan energi, ruang dan waktu. Mengenai materi dapat disebut teori atom Niels Bohr, yang pada dasarnya menggambarkan atom sebagai terdiri atas inti atom dan elektron yang bergerak mengelilinginya dalam orbit-orbit yang pasti. Energi (termasuk energi dalam transisi) digambarkan dalam wawasan ini. Kitapun mengenal kesetaraan materi dan energi, yang pertama dicetuskan oleh Einstein. Lalu apa itu materi, dan apakah pula energi? Pertanyaan itu masih aktual dalam penelitian fisika dewasa ini.

Tinjaulah atom Hidrogen, yang hanya terdiri atas inti bermuatan positif dan satu elektron bermuatan negatif, dan tidak ada lainnya. Perhitungan sederhana dengan hukum Coulomb membuat seorang kepada gambaran sebagai berikut: Jika inti positif itu dibayangkan sebesar bola tenis yang berada di pusat kota Yogyakarta, maka elektron itu akan berupa kelereng yang mengelilinginya pada orbit sekitar 30 kilometer daripadanya (... di Klaten!). Dapatkah dikatakan bahwa terdapat "ruang ketiadaan" diantara Yogya dan Klaten itu? Maka apakah sebenarnya ruang-ketiadaan itu? Tentulah bukan materi ...

Dalam konteks seperti itu jika dikatakan bahwa alam raya ini berkembang dari suatu Ledakan Besar pada suatu saat yang disebut awal penciptaan, menjadi seperti digambarkan oleh para astronom, -- apa makna semua itu? Allah, Sang Pencipta semua ini, ada di mana?

Dalam konteks seperti itu pula dapat ditanyakan: pada hakekatnya apa itu roh? Kelahiran kiranya dapat digambarkan. Kematian dapat pula digambarkan, sekurang-kurangnya dari kenyataan inderawi tentang seseorang yang mati 1000 hari yang lalu dan kenyataannya sekarang jika kuburnya digali. Namun apakah yang dapat dikatakan tentang roh, dan lebih khusus lagi roh orang itu? Ada di mana rohnya?

Dengan bertanya "di mana?" pada dasarnya seorang telah memaksakan konsep fisika kepada gejala (jika boleh disebut demikian) yang bukan urusan fisika. Atau apakah gejala itu akan berada dalam wilayah ilmu fisika, suatu hari di masa depan? Jawaban atas pertanyaan ini rasanya tidak dapat diberikan, juga oleh para fisikawan sendiri. Kebenaran dalam pengetahuan kita akan alam raya (yang disebut fisika itu) tampak begitu terbatas.
Read More..

Emile Durkheim


 Dalam pandangan durkheim bahwa masalah pokok sosiologi yang terpenting adalah mempelajari fakta-fakta social. Durkheim membeyangkan fakta social sebagai kekuatan (force), dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu, misalnya hokum yang melembaga dan keyakinan moral bersama.
 Durkheim memebedakan antara dua tipe fakta social, yakni fakta social yang bersifat nonmaterial (misalnya kultur dan institusi social) dan fakta social yang bersifat material (misalnya birokrasi dan hukum).
 Dalam pandangan durkheim masyarkat primitif di persatukan oleh terutama fakta social yang bersifat nonmaterial, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama atau yang disebutnya sebagai kesadaran kolektif. Sedangkan dalam masyarakat modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun. Ikatan utama dalam masyarakat modern adalah pembagian kerja yang ruwet, yang mengikat orang yang satu dengan orang yang lainnya dalam hubungan saling tergantung. Durkheim mengaggap bahwa solidaritas yang terbentuk dalam masyarakat primitive atau tradisional adalah solidaritas mekanik. Sedangkan dalam masyarakat modern, solidaritas tersebut telah mengalami perubahan, yakni dari solidaritas mekanik menjadi solidaritas organis. Read More..

August Comte



 August comte dikenal sebagai bapak sosiologi, karena dialah yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi. Comte menyebut sosiologi sebagai fisika social.
 Comte mengembangkan pandangan ilmiahnya, yakni positivisme atau filsafat posistiv, untuk memberantas sesuatu yang ia anggap sebagai filsafat negative dan destruktif.
 Comte mengannggap bahwa ada tiga tingkatan intelektual yang harus dilalui oleh dunia di sepanjang sejarahnya. Menurut comte, bukan hanya dunia yang akan melalui proses ini, tetapi juga kelompok masyarakat, ilmu pengetahuan, individu dan bahkan pemikiran juga berkembang melalui tiga tahap yang sama. Tahap pertama adalah tahap teologis, dalam tahap ini dunia social dan alam fisik khususnya dipandang sebagai ciptaan tuhan atau dewa-dewa. Dalam tahap ini muncul kepercayaan-kepercayaan animisme dan dinamisme. Pada tahap kedua, yakni tahap metafisik. Pada tahap ini dunia tidak lagi dipandang sebagai ciptaan tuhan atau dewa-dewa, namun diyakini bahwa dunia ini digerakkan oleh sekuatan abstrak. Pada tahap berikutnya, tahap positivstik, dalam fase ini ditandai oleh keyakinan terhadap ilmu science. Dalam tahapan ini manusia mulai cendrung menghentikan penelitian tentang penyebab absolute (tuhan atau alam) dan memusatkan perhatian pada pengamatan alam fisisk dan dunia social, guna mengetahui hokum-hukum yang mengaturnya. Teori evolusi comte ini dikenal dengan sebutan teori hukum tiga tingkatan.
 dalam sosiologi comte yang menjadi unit analisis dasarnya bukanlah individu, melainkan kesatuan yang lebih besar yakni misalnya keluarga. Sehingga struktur social dan perubahan social menjadi penting kedudukanya dalam proses perkembangan masyarakat.
Read More..

Senin, 14 Desember 2009

Antonio Gramsi - seorang revolusioner Italia.

Antonio Gramsci lahir pada tanggal 22 Januari 1891, di kota Ales, pulau Sardinia.
Enam tahun kemudian, ayahnya dicopot dari posisinya sebagai pegawai dan dijebloskan di penjara karena dituduh korupsi, sehingga Antonio bersama ibunya harus perpindah ke kota lain dan hidup mereka menjadi agak sulit. Selama masih anak, dia jatuh dan menjadi cacat, dan seumur hidup dia kurang sehat.
Sewaktu mahasiswa di Cagliari dia menemui golongan buruh dan kelompok sosialis untuk pertama kalinya. Tahun 1911 dia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Turino. Kebetulan sekali Palmiro Togliatti, yang kelak menjadi Sekertaris Jendral Partai Komunis Italia (PCI), mendapatkan beasiswa yang sama. Di Universitas tersebut Gramsci juga berkenalan dengan Angelo Tasca dan sejumlah mahasiswa lainnya yang kemudian berperan besar dalam gerakan sosialis dan komunis di Italia.
Pada tahun 1915 Gramsci mulai bergabung dalam Partai Sosialis Italia (PSI) sekaligus menjadi wartawan. Komentar-komentarnya di koran "Avanti" dibaca oleh masyarakat luas dan sangat berpengaruh. Dia sering tampil berbicara di lingkar-lingkar studi para buruh dengan topik yang beraneka-ragam seperti sastra Perancis, sejarah revolusioner dan karya Karl Marx. Dalam Perang Dunia I, Gramsci tidak seteguh Lenin atau Trotsky dalam melawan perang tersebut, namun pada hakekatnya orientasinya adalah untuk mebelokkan sentimen rakyat ke arah revolusioner.
Aktivis dan intelektual muda ini sangat terkesan oleh Revolusi Rusia tahun 1917. Seuasai Perang Dunia Gramsci ikut mendirikan koran mingguan "Ordine Nuovo" yang memainkan peranan luar biasa dalam perjuangan kelas buruh di kota Torino. Saat itu kaum buruh sedang berjuang secara sangat militan serta membangun dewan-dewan demokratis di pabrik-pabrik. Gramsci beranggapan bahwa dewan-dewan itu memiliki potensi untuk menjada lembaga revolusioner semacam "soviet-soviet" di Rusia.
Sehubungan dengan keterlibatannya dalam gerakan buruh, Gramsci memihak minoritas komunis dalam PSI. Partai Komunis yang muncul waktu itu merupakan pecahan dari PSI, dan Gramsci menjadi anggota Komite Pusat partai tersebut. Selama 18 bulan (tahun 1922-23) dia merantau di Moskow. Tahun 1924 dia terpilih menjadi anggota parlemen.
Pada tanggal 8 Nopember 1926 Gramsci tertangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah fasis Mussolini. Jaksa menegaskan bahwa: "Kita harus menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun." Sejak saat itu selama 10 tahun dia meringkuk di penjara, dengan sangat menderita karena keadaan fisiknya yang kurang sehat. Namun bertentangan dengan harapan si jaksa fasis itu, masa sulit ini akan menjadi kesempatan untuk Gramsci menulis karya Marxis tentang masalah-masalah politik, sejarah dan filsafat yang luar biasa berbobot, dan yang terbit setelah Perang Dunia II dengan judul "Buku-buku Catatan dari Penjara" (Prison Notebooks).
Sayangnya, rumusan-rumusan dalam buku ini terkadang sulit ditafsirkan, karena Gramsci harus memakai bahasa yang tidak langsung, bahkan memakai kata-kata sandi yang dapat diartiakan secara berbeda-beda. Oleh karena itu, buku tersebut pernah diinterpretasikan sebagai karya non-Leninis bahkan anti-Leninis. Pemikiran Gramsci didistorsikan oleh kepemimpinan stalinis dari Partai Komunis untuk membenarkan strategi parlementer mereka, dengan argumentasi bahwa Gramsi mempunyai sebuah strategi yang beranjak dari sudut pandangan kelas buruh dan diktatur proletariat menuju suatu orientasi lebih "kaya" dan lebih "luas". Kemudian argumentasi yang sama digunakan bermacam-macam partai dan kelompok reformis di seluruh dunia, yang suka mempertentangkan Gramsci dengan Lenin. Argumentasi ini adalah salah.
*****
Sudah pada tahun 1918 Gramsci menggambarkan para politisi reformis sebagai "sekawan lalat yang mencari semangkok poding" dan setahun kemudian menegaskan: "kami tetap yakin, negara sosialis tidak bisa terwujud dalam lembaga-lembaga aparatur negara kapitalis … negara sosialis harus merupakan suatu penciptaan baru."
Ini sebabnya dia berpisah dengan Partai Sosialis dan ikut mendirikan Partai Komunis. Meskipun dia masuk parlemen sebagai taktik, pendapat Gramsci ini sama sekali tidak berubah seumur hidupnya.
Tulisannya terakhir sebelum masuk penjara adalah Tesis-tesis untuk konferensi Partai Komunis di Lyons pada tahun 1926. Di sini cukup jelas bahwa Gramsci tetap menganut jalan revolusioner, melalui pemberontakan bersenjata kaum buruh. Dia menganalisis kekalahan kelas buruh dalam perjuangan historis tahun 1919-20, dengan menyatakan bahwa kekalahan tersebut terjadi karena "kaum proletariat tidak berhasil menempatkan diri di kepala insureksi mayoritas masyarakat dalam jumlah yang besar… malah sebaliknya kelas buruh terpengaruhi oleh kelas-kelas sosial lainnya, sehingga kegiatannya terlumpuhkan." Tugas Partai Komunis adalah mengajak kaum buruh untuk "insureksi melawan negara borjuis serta perjuangan untuk diktatur proletariat".
Sudah sejak awal, Gramsci melihat proletariat sebagai faktor kunci dalam revolusi sosialis. Itu sebabnya dia terlibat dalam dewan-dewan pabrik di Torino pada tahun 1919-20. Fokus ini marak pula dalam Tesis-tesis Lyons. Organisasi partai "harus dibangun berdasarkan proses produksi, maka harus berdasarkan tempat kerja", karena partai harus mampu memimpin gerakan massa kelas buruh, "yang disatukan secara alamiah oleh perkembangan sistem kapitalisme sesuai dengan proses produksi." Partai itu harus juga menyambut unsur-unsur dari golongan sosial lainnya, tetapi "kita harus menolak, sebagai kontra-revolusioner, setiap konsep yang membuat partai itu menjadi sebuah 'sintesis' dari pelbagai unsur yang beraneka-ragam".
Tetapi bukankah Gramsci telah mengembangkan sebuah analisis sosial tentang masyarakat kapitalis di barat yang lebih canggih dan halus dibandingkan teori-teori Lenin? Memang begitu. Seperti Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci lebih mengerti seluk-beluk dunia politik dan perjuangan sosial di Eropa Barat, sedangkan Lenin selalu berfokus pada perkembangan-perkembangan di Rusia, sehingga kita dapat banyak belajar dari tulisan-tulisan Gramsci.
*****
Namun kaum Stalinisis dan reformis menjungkirbalikkan hal ini pula. Mereka memusatkan perhatian pada sebuah kiasan yang dilakukan Gramsci antara strategi revolusioner dan militer.
Dalam "Buku-buku Catatan dari Penjara" dia membedakan antara dua macam perang: "perang manuver" yang melibatkan pergerakan maju atau mundur yang cepat; dan "perang posisi", sebuah perjuangan panjang di mana kedua belah pihak bergerak secara pelan-pelan, seperti di dalam parit-parit perlindungan selama Perang Dunia I. Rumusan-rumusan ini diartikan para Stalinis dan reformis sebagai berikut: pemberontakan Oktober 1917 di Rusia adalah perang manuver, yang memang diperlukan dalam kondisi-kondisi primitif di sana; tetapi kondisi-kondisi di Eropa Barat sudah lebih matang dan kompleks, sehingga diperlukan sebuah strategi "perang posisi" -- baca strategi parlementer dan perubahan gradual.
Semua ini omong kosong. Kedua strategi itu bukan bertentangan melainkan komplementer. Di Rusia antara tahun 1905 dan 1917, kaum Bolshevik juga melakukan "perang posisi", dan pendekatan yang sama dianjurkan mereka bagi partai-partai Komunis muda pada tahun 1921, dalam bentuk "front persatuan". Atau jika kita mau mengambil contoh Indonesia, para aktivis demokrasi telah menjalankan sebuah perang posisi selama bertahun-tahun, tetapi begitu krismon meletus dan rezim Suharto mulai bergoyang, mereka harus melakukan intervensi-intervensi radikal, sampai akhirnya kaum mahasiswa menduduki gedung DPR. Dan di barat sebuah "perang posisi" juga dibutuhkan sampai terjadinya krisis revolusioner; tapi begitu krisis itu meledak, kita harus beralih ke "perang manuver".
Rumusan-rumusan Gramsci tentang "perang posisi" bersangkutan dengan teorinya tentang mekanisme-mekanisme kekuasaan ideologis dalam masyarakat kapitalis. Kaum penguasa tidak hanya berkuasa melalui alat-alat represif (polisi, tentara, pengadilan). Sebenarnya alat-alat itu hanya bergerak dalam keadaan luar biasa, seperti kriminalitas, kerusuhan, demonstrasi atau pemberontakan. Sedangkan seorang buruh biasanya masuk tempat kerja saban hari, menurut undang-undang yang ada, bahkan sering menghormati kaum penguasa … kurang-lebih tanpa paksaan langsung. Dia dipaksa oleh kebutuhan ekonomis, tetapi juga menerima ide-ide mendasar dari tatanan sosial yang ada, sehingga mematuhi undang-undangnya secara "sukarela".
Gramsci mengembangkan sebuah analisis yang canggih tentang mekanisme-mekanisme "hegemonis" ini, yang memang lebih halus dan efektif di negeri-negeri maju. Sehingga "perang posisi" bisa saja berjalan selama bertahun-tahun. Tapi ada juga mekanisme-mekanisme hegemonis di Indonesia dan negeri dunia ketiga lainnya; bukankah para aktivis kiri sering mengeluh tentang "kesadaran palsu" massa rakyat Indonesia? Sehingga di sini pula, perbedaan antara negeri-negeri maju dan dunia ketiga bukan sesuatu yang mutlak melainkan relatif saja.
Jaksa fasis yang ingin "menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun" telah gagal. Pemikiran Gramsci masih hidup dan berkembang. Namun pemikiran itu tidak boleh disalahartikan: Antonio Gramsci bukanlah seorang reformis melainkan seorang Marxis revolusioner.
Read More..

ANARKHISME DI TUBAN KEKERASN DALAM POLITIK MASSA


KRONOLOGI KERUSUHAN
Berbicara tentang konflik politik yang tidak sehat, anarkhis, maka kerusuhan Tuban yang terjadi pada 29 april 2006 merupakan contoh paling representatif, Karena begitu kentalnya dengan kepentingan-lepentingan golongan tertentu dalam structural pemerintah daerah. Hal ini mengacu pada salahny pemahaman demokrasi yang salah kaprah. Demokrasi di anggap sebagai kebebasan berekspresi yang sebebas-bebasnya.
Berapakah harga sebuah demokrasi di Tuban, Jawa Timur? Nilainya ada di puing-puing pendopo dan sederet bangunan lainnya, di reruntuhan sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), di sederet pasal hukum yang siap menjerat puluhan tersangka, serta di rasa takut yang gentayangan di seluruh sudut kota dan merasuki warga.
Ongkos mahal itu harus dibayar untuk sebuah kursi bupati yang kembali diduduki oleh Haeny Relawati. Hasil perhitungan suara yang dijaga ketat di Markas Kepolisian Resor Tuban, Rabu pekan lalu, calon besutan Partai Golkar yang berpasangan dengan Lilik Soehardjono itu unggul tipis dari saingannya, duet Noor Nahar Husein-Goh Tjong Ping, jago yang keluar dari kubu PKB dan PDI Perjuangan.
Gejala kemenangan "Heli" demikian bahasa jualan pasangan Haeny dan Lilik selama kampanye-- mulai tampak kala perhitungan sementara menginjak hari kedua setelah pemilihan kepala daerah (pilkada), yang berlangsung Kamis pekan lalu. Walau hasil final belum ditetapkan, angka rekapitulasi dari semua tempat pemungutan suara menunjukkan, kemenangan menjauh dari "Nonstop" sebutan bagi pasangan Noor dan Tjong Ping.
Bersamaan dengan itu, ribuan massa yang kecewa jagonya lewat mulai bergejolak. Tudingan bahwa kubu lawan melakukan praktek kotor terus berembus, seolah menjadi komando bagi mereka untuk turun ke jalan. Setidaknya 12 truk yang disesaki pendukung Nonstop berkeliling kota. Dari bibir-bibir penumpangnya berhamburan tuduhan telah terjadi pencoblosan ganda, adanya pemilih ilegal, dan permainan uang. Tertuduhnya siapa lagi kalau bukan Heli.
Massa yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Tuban Peduli Pilkada itu mengambil garis start di depan kantor DPC PKB Tuban di Jalan dr. Wahidin. Mereka lantas bergerak ke kantor KPUD di Jalan Pramuka, yang hanya berjarak 300 meter dari titik pemberangkatan. Hadangan dua satuan setingkat kompi (SSK) dari kesatuan Dalmas Polres Tuban dan bentangan pagar kawat berduri tak jadi penghalang.
Dalam waktu singkat, massa yang telah dirasuki amarah itu merangsek dan memorak-porandakan gedung KPU beserta isinya. Satu jam kemudian, kantor KPU ditinggalkan dalam keadaan terbakar. Kantor Palang Merah Indonesia yang berdiri di sebelahnya ikut menjadi korban.
Kemudian rombongan bergerak menuju Pendopo Kridamanunggal Pemkab Tuban di Jalan Veteran. Tanpa banyak kesulitan, bangunan yang baru dipugar dengan biaya Rp 12 milyar itu dibumihanguskan. Ikut juga jadi sasaran: gedung Korpri, gedung PKK, gedung Gerakan Organisasi Wanita, gedung Darma Pertiwi, dan kantor DPD Partai Golkar.
Amuk masih terus menelan korban. Satu rumah Haeny yang sedang dibangun di atas lahan empat hektare di Jalan Letda Sucipto, Hotel Mustika di Jalan Teuku Umar, dan gudang PT Sembilan Sembilan --keduanya milik Ali Hasan, suami Haeny-- dibumihanguskan. Aset bisnis Ali Hasan lainnya, dua SPBU, dan kediaman Haeny di Jalan KH Agus Salim turut jadi sasaran. Tapi tak sampai dibakar.
Massa dalam sebuah aksi demonstrasi sering kali tidak memiliki pertahanan kesadaran, mudah diprovokasi oleh golongan-golongan tertentu yang memiliki kepentingan. Politik seperti ini bisa dibilang merupakan sebuah politik massa. Dimana kuantiítas merupakan tolak ukur dalam menilai sesuatu.
Situasi baru terkendali setelah 10 SSK polisi bantuan dari Polwil dan Polres Bojonegoro, Polres Jombang, serta Polres Madiun tiba di lokasi. Sejak malam itu juga, Inspektur Jenderal Polisi Herman Sumawiredja, Kapolda Jawa Timur, memberlakukan jam malam. "Bila ada indikasi gerakan pembakaran, saya perintahkan untuk langsung tembak di tempat," katanya.
Keruan saja, suasana malam di Tuban menjadi mencekam. Sedikit sekali terlihat orang berlalu lalang. Sebagian besar warga kota memilih mendekam di dalam rumah karena dihinggapi rasa takut.
Polisi juga sudah memeriksa 104 orang, 84 di antaranya resmi menjadi tersangka. Semuanya pendukung Nonstop. Pasangan Noor-Tjong Ping juga sempat diperiksa, tapi kemudian dilepaskan.

KEKERASAN DAN POLITIK MASSA
“Daya dan kekuatan manusia secara mendasar tampak dalam pengalaman kekerasan… dari daya kekuatan itulah berasal rasa kepastian diri dan identitas. Kekerasan”.
Kalimat ini berasal dari Hannah Arendt, dalam bukunya The Human Condition. Pernyataan filsuf perempuan yang ikut menjadi korban kekejian nazi Jerman ini bukanlah sebuah glorifikasi kekerasan, juga bukan sebuah kecaman terhadapnya. Arendt merumuskan sebuah datum antropologis yang penting bahwa akar-akar kekerasan terletak pada kerinduan manusia untuk menemukan rasa kepastian dan identitas.
Jika demikian maka kerusuhan yang terjadi di Tuban bisa jadi merupakan adanya distingsi dalam proses pencarian kepastian yang dilakukan oleh massa. Akar konflik kekerasan yang terjadi di Tuban pada 29/4 tersebut ada pada banyaknya kecurangan di dalam proses pilkada, sehingga golongan yang merasa dirugikan mengerahkan massa untuk menuntut pilkada ulang. Namun munculnya anarkhisme di sini lebih disebabkan tidak terbangunnya komunikasi umpan balik dalam massa itu sendiri. Sehingga para provokator dapat dengan mudah menguasai massa.
Jika kekerasan merupakan tindakan penegasan diri, kita tidak boleh mengabaikan suatu data antropologis lain: kekaburan-diri manusia. Penegasan-diri mengandaikan sebuah situasi negatif kekaburan-diri. Sebuah dealektika yang keji terjadi di dalam batin setiap pelaku kekerasan. Ketidakmampuannya untuk menetukan diri berubah secara gaib dalam kegagahan-diri dalam kerumunan massa saat menghadapi korbannya yang terkapar dan tidak berdaya.
F budi hardiman dalam bukunya “Memahami Negativitas: Diskursus Tentang Massa, Terror Dan Trauma” menjelaskan bahwa massa adalah kuasa ditangan provokatornya. Individu-individu melebur dan tidak menyadari diri telah di peralat sebagai meriam-meriam dari darah dan daging untuk membidik kekuasaan lawan-lawan politik. Manusia-manusia tanpa wajah itulah korban kuasa.
Mengamuknya massa dalam aksi anarkhis di tuban, bukanlah sesuatu yang by nature, melainkan ada proses by desaign. Hal itu terbukti dengan ditemukannya beberapa provokator yang mendalangi terjadinya kerusuhan. dan ptovokator-ptovokator tersebut disinyalir adalah orang-orang dari kunu tertentu yang merasa dirugikan oleh kecurangan dalam pilkada. Mudahnya provokator memasuki alam kesadaran massa disebabkan karena “massa” tidak lagi berfikiran rasional. Apa yang mereka lakukan cendrung tidak disadari. Karena adanya solidaritas di antara individu-individu yang berkumpul, maka suara dari seorang indivdu merupakan suara bersama. Mc. Quail juga mengemukakakan bahwa massa kurang mampu memiliki kesadaran diri dan identitas diri. Sehingga dapat dengan mudah diarahkan pada suatu tindakan anarkhis.
`Mc. Quail juga menyebutkan bahwa massa tidak bertindak untuk dirinya sediri, tetapi di setir untuk melakukan suatu tindakan. Massa kerusushan Tuban tidak melakukan perusakan atas kepentingan pribadi, namun ada person-person yang mengendalikan massa tersebut untuk melakukan pengrusakan.
Secara psikologis, semakin well educated seseorang, maka semakin longgar dan bijaksana pula orang tersebut. Artinya, pola komunikasi yang dilakukannya lebih rasional. Bentuk komunikasi non verbal yang hanya menggunakan sinyal atau simbol saja sudah bisa mengutarakan pesan dengan baik.
Begitu pula sebaliknya, semakin low intellectual capital seseorang, perilakunya akan semakin keras dan radikal secara fisik. Orang-orang ini tidak bisa mengungkapkan keinginannya melalui bahasa logis (logical product). Fenomena ini bisa terlihat jelas dalam aksi-aksi mogok, demonstrasi, vandalisme, dan sebangsanya. Jelas, tindakannya selalu irasional yang tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
Logika ini bisa dibalik juga begitu saja. Kalau orang bersikap radikal dan vulgar, bisa disebabkan karena kesulitan mengungkapkan ide dan keinginannya (seperti sudah diurai di atas) atau disebut less educated. Atau kedua, bisa juga karena tidak punya cara lain untuk express interest and willingness. Istilahnya less hope.
Artinya, irasional yang tumbuh dalam massa adalah pangkal permasalahan terjadinya anarkhisme. Karena komunikasi yang kritis pada saat itu tidak akan terbangun, akibatnya massa tidak lagi mempertanyakan mengapa ia harus berbuat demikian. Kondisi yabg demikian memudahkan provokasi memasuki massa. Komuikasi yang terbangun dalam massa sifatnya searah, tidak ada proses timbal-balik.
George Simmel mengatakan pada aksi massa, motif-motif dari pada individu seringkali sedemikian berlainan sehingga penyatuan mereka semakin mungkin, jika isi dari aksi massa itu semakin negative, yakni semakin destruktuf. Dalam konteks kerusuhan dituban, massa tidak lagi memikirkan kepentingan pribadinya, melain terakomodasi dalam sebuah kepentingan yang lebih besar lagi, yakni kepentingan massa.
Masalahnya, Aksi anarkis di Tuban pada 29 April 2006 lalu memang sulit dipisahkan antara protes terhadap proses pilkada, atau merupakan bentuk akumulasi kekecewaan terhadap keluarga Bupati Tuban, Haeny Relawati Rini Widyastuti. Sebab dalam aksi tersebut, selain merusak dan membakar gedung-gedung pemerintah, massa juga berkonsentrasi melakukan perusakan di rumah dinas dan aset-aset pribadi keluarga kaya tersebut.
Dalam politik massa, kuantitas adalah tolak ukurnya, maka massa menjadi alat untuk mencapai tujuan politiknya. Tidak peduli apakah lawannya real atau fiktif. Sehingga muncul kecendrungan terputusnya antara target atau tujuan dengan cara-cara dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dalam Anarkhisme massa di Tuban, Beberapa aset pribadi keluarga Haeny yang dirusak dan dibakar di antaranya adalah Hotel Mustika; rumah pribadi di Jl KH Agus Salim dan di Jl Letda Soetjipto; Gudang CV 99 yang dijalankan suaminya, Ali Hasan; dan dua SPBU milik keluarga di tengah Kota Tuban. Selain itu, empat mobil dirusak dan dibakar. Sedangkan Lilik Soeharjono yang berpasangan dengan Haeny dalam Pikada Tuban ini, sama sekali tidak tersentuh massa.
Apakah hal ini merupakan akumulasi kekecewaan terhadap proses pilkada, ataukah bentuk kebencian pada Haeny dan keluarganya?
Jika memang kekecewaan terhadap proses pilkada, sudah barang tentu tidak akan terjadi perusakan terhadap asset-aset pribadi, karena proses pilkada merupakan murni tangung jawab dari KPU. Namun dalam kerusuhan ini, aset pribadi justru menjadi korban paling banyak dalam segi kuantitas. Ini menunjukkan adanya sentiment pribadi dalam massa terhadap Haeny.
Seperti disebutkan diatas, bahwa massa itu mudah di provokasi, irrasional dan bodoh. Sehingga komunikasi yang terbangun sifatnya searah. Masuknya provokator yang memainkan isu sentimen pribadi akan semakin menjadikan massa semakin tak terkendali.
Bisa dibilang kerusuhan ini merupakan bagian dari politik massa. Dimana massa dijadikan representasi dari kekuatan pendukung pasangan Noor dan Tjong Ping.
F. Budi Hardiman menyebutkan bahwa Politik massa adalah politik representasi, musuh di representasikan seoleh-seolah real dihadapan mereka. Sehingga massa akan merusak segala sesuatu yang berkaitan dengan kelompok musuh. Maka dari situ, jalaban yang bisa diberikan terhadap pertanyaan di atas adalah “keduanya”. Yang terangkum dalam sebuah politik massa.
Dengan kata lain munculya kerusushan ini tidak bisa kita lihat secara parsial sebagai sesuatu yang natural, namun ada kepentingan-kepentingan yang memperalat massa. Kekerasan ini merupakan manifestasi dari politik massa, dimana massa dijadikan alat atau dimanfaatkan oleh suatu golongan untuk mebcapai tujuan golongan tertentu.
KONFLIK SOSIAL DAN GAGALNYA KOMUNIKASI
Marx dan Dahrendrof memandang bahwa sejatinya masyarakat itu atau sistem sosial berada dalam konflik yang terus menerus (continual state of conflict). Otoritas dan kekuasaan merupakan sumber utama penyebab timbulnya konflik. Konflik di anggap tercipta oleh adanya kepentingan-kepentingan yang saking bertentangan yang tak terelakkan dan melekat dalam struktur sosial masyarakat. kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut termanifestasi dalam adanya golongan-golongan, ada golongan yang mendominasi dan ada golongan yang didominasi.
Jika kita kontekskan anarkhisme yang terjadi di Tuban dengan pandangan Marx dan Dahrendrof yang biasa di sebut dengan perspektif “konflik sosial” tersebut, maka kita dapat memgatakan bahwa konflik ini timbul akibat adanya kepentingan yang bertentangan antara kubu pasangan Haeny dan Lilik dengan kubu pasangan Noor dan Tjong Ping. Yang termanifestasi dalam persaingan memperebutkan kedudukan kepala daerah.
Akumulasi kebencian di salah satu pihak akhirya meletus, karena terstimuli oleh kemenangan kubu musuh, sehingga konflik yang muncul tidak lagi bersifat laten, tapi sudah bersifat konflik manifestasi. Karena sudah memiliki bentuk yang nyata, yakni pengrusakan aset-aset pribadi milik Haeny.
Hannah Arendt dalam The Origin Of Totalitarianisme menganalisis secara terperinci, bahwa kekaburan struktur sosial, distorsi dan defisiemsi dalam komunikasi politik, dan atomisasi masyarakat adalah kondisi-kondisi pembentukan massa. Dalam situasi seperti itulah solidaritas negatif massa dapat tumbuh. Massa yang muncul akibat kodidi-kondisi tersebut seringkali menimbulkan konflik yang sifatnya destruktif.
Perusakan beberapa aset-aset negara serta aset-aset pribadi Haeny oleh massa merupakan sebuah bentuk lain dari adanya kepentingan-kepentingan yang saling brtententangan antara dominant groups yang diwakili oleh massa noor dan sub jugated groups yang diwakili oleh kemenangan haeny menjadi kepala daerah Tuban. Akhirnya muncul sentimen dari golonngan sub jugated groups terhadap dominant groups. Bisa kita lihat bahwa golongan-golongan tersebut sama halnya dengan apa yang disebut “kelas” oleh Marx. Munculnya golongan-golongan tersebut merupakan manifestasi dari kepentingan-kepentingan yang bertentangan antara kubu Haeny dan kubu Noor.
Durkheim juga menjelaskan, bahwa dalam masyarakat terjalin sebuah kesepakatan atau collective counseisnes yang mengakar pada solidaritas yang terbangun. Artinya dalam sebuah massa terjalin suatu ikatan yang bersumber pada kesamaan tujuan. Kesamaan tujuan inilah yang membentuk solidaritas massa. Bila solidaritas yang terbangun negatif, maka besar kemungkinannya hasil yang dicapainya pun negatif.
Dalam konteks kerusuhan yang terjadi di Tuban ini, massa terbentuk karena terjadinya kekaburan proses pilkada yang disinyalir banyak terjadi penyimpangan di dalamnya. Selain itu kebencian terhadap haeny juga menjadi salah satu factor timbulnya aksi massa yang berakibat pada anarkhisme. Dalam massa yang solidaritasnya negatif akan sangat mudah si masuki oleh provokator. Yang menjadi penyebabnya adalah gagalnya komunikasi politik dalam massa.
Seperti disebutkan di atas, F Budi Hardiman dalam bukunya Memahami Negativitas Diskursus Tentang Massa, Terror Dan Trauma menjelaskan secara terperinci bahwa kuasa massa adalah ada ditangan provokatornya. Sehingga Individu-individu melebur dan tidak menyadari diri telah diperalat sebagai meriam-meriam dari darah dan daging untuk membidik kekuasaan lawan-lewan politik. Di dalam kerumunan massa, mereka tdak berbeda satu sama lain, mereka menegaskan diri sebagai subyek kolektif yang utuh untuk melawan subyek kolektif lain, baik secara real maupun fiktif sama saja. Yang penting adalah representasinya sebagai suatu negativitas.
Karena solidaritas yang terbangun adalah solidaritas negatif, maka wajar jika komunikasi yang terbangun juga negatif. Habbermas mensyaratkan adanya daya kritis sebagai prasyarat terbentuknya masyarakat yang komunikatif. Karena dalam kerumunan massa pola komunikasi yang terbangun tidak memberi kesempatan untuk mempertanyakan apa yang mereka lakukan, tujuan, serta keuntungan yang dicapai, maka nalar kritis tidak terbangun. Misunderstanding menjadi sebuah konsekwensi bagi gagalnya komunikasi dalam sebuah kerumunan massa. Konsekwensi selanjutnya yang harus di tanggung sebagai akibat dari mis understanding tersebut adalah konflik.
Para sosiolog membedakan dua jenis konflik, yang masing-masing memiliki sebab yang berbeda. Pertama, konflik yang bersifat destruktif karena dipicu oleh rasa kebencian yang tumbuh di dalam tubuh mereka masing-masing yang terlibat konflik. Munculnya rasa kebencian itu disebabkan oleh berbagai hal. Konflik destruktif dalam kehidupan berpolitik dapat ditumbuhkan karena fanatisme para pendukung partai yang berlebihan terhadap partainya. Selain itu partai yang memiliki pendukung fanatik juga dapat menimbulkan konflik yang destruktif. Hal itu disebabkan partai akan cendrung memanfaatkan fanatisme pendukung mereka untuk memaksakan kehendak mereka tanpa mahu melihat kepentingan partai lain. Kedua, konflik fungsional. Yakni konflik yang menghasilkan perubahan atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan.
Jika melihat dari akar permasalahannya, kerusushan di Tuban bisa dikategorikan sebagai konflik yang destrukutif, karena di picu oleh rasa kebencian yang kemudan dimanfaatkan oleh partai-partai. Munculnya anarkhisme seperti itu tidak bisa dilihat secara pasial bahwa itu merupakan ciri khas atau karakteristik masyarakat tuban. Tapi lebih merupakan hasil dari internalisasi beberapa faktor yang merupakan kepentingan salah satu pihak.
Loekman soetrisno dalam bukunya Konflik Social Studi Kasus Indonesia menyebutkan ada beberapa akar dari munculnya budaya kekerasan di dalam masyarakat Indonesia. Pertama, adanya penetrasi budaya militer dalam masyarakat sipil. Penetrasi itu diwujudkan dalam beberapa bentuk seperti upacara, budaya pekeian seragam, baris-berbaris, dan sebagainya yang semuanya dirancang berdasar tata cara militer. Pengaruh budaya militer ini tidak hanya ada pada tubuh pegawai sipil, tetapi juga dalam tubuh partai politik. Hampir semua partai politik memiliki satgas.
Kedua, tipisnya kelas menengah dalam keanggotaan partai di Indonesia. Kelas menengah tidak berada di pucuk pimpinan partai, tetapi pada tingkat lapisan bawah. Kader-kader dari kelas menengah tidak ada. Akibatnya massa partai di biarkan menjadi pendukung partai yang fanatik tanpa memiliki filter yang mampu menyaring dan mengartikan informasi yang benar. Ini menjelaskan mengapa anggota partai mudah bertindak emosional.
Ketiga, tidak adanya pendidikan politik yang teratur oleh pemimpin partai terhadap anggotanya. Akibatnya anggota partai benar-benar merupakan floating mass dari satu pemilu ke pemilu yang lain. Hal ini mengakibatkan partai-partai politik pada hakikatnya belum merupakan partai politik yang modern.
Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya insiden ini. Hal itu terbukti, jika ada pendidikan politik yang teratur, maka sangat mustahil insiden seperti ini akan terjadi. Karena massa akan memiliki target yang jelas dalam proses pilkada. Sehingga pendukung pasangan yang kalah akan siap menanggung setiap konsekwensinya.
Keempat, adanya kemunduran budaya dikalangan bangsa Indonesia berupa menipisnya sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat maupun perbedaan agama. Mungkin inilah factor yang paling krusial, karena menyangkut seluruh segi kehidupan. Tidak bisa kita bayangkan jika terjadi perdebatan di kalangan mahasiswa dan di antara mahasiswa yang berdebat tidak muncul toleransi terhadap perbedaan, maka akan timbul konflik di mana-mana.
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa semuanya berawal dari perebutan struktur dan akhirnya muncul konflik. Dalam pandangan johann galtung seorang pelopor teori kriminalitas yang disebut dengan teori kekerasan struktural menyebutkan bahwa orang yang berada struktural lebih tinggi memiliki kecedrungan untuk melakukan kejahatan yang tersembunyi, misalnya memanfaatkan anggota partai yang fanatis untuk mencapai tujuannya, tanpa memikirkan kepentingan partai lain.












DAFTAR PUSTAKA



Cangara, Hafied. 2003. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hardiman, F. Budi. 2005. Memahami Negativitas : Diskursus Tentang Massa, Terror Dan Trauma. Jakarta: Kompas.
Liliweri, Alo. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa Dalam Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Rahman, Bustami. Hari Yuswadi. 2004. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jember: Komisi Peduli Budaya Dan Wisata Daerah dan LPKM FISIP UNEJ.
Sahetapy, J.E. 2005. Pisau Analisis Kriminologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Susetiawan. 2000. Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Read More..