Rabu, 16 Desember 2009

KEBENARAN PENGETAHUAN


1. Pengetahuan dapat dimengerti sebagai kesadaran subyek pengenal tentang obyek yang dikenalinya. Kesadaran itu diperoleh dengan bantuan peralatan pengumpulan data yang sesuai. Pengetahuan tersebut dapat subyektif, dapat pula bersifat obyektif. Disebut subyektif jika aneka pandangan, faham dan selera yang ada pada subyek pengenal berperan besar, langsung atau tak langsung, dalam proses mendapatkan kesadaran tersebut. Sebaliknya disebut obyektif, jika unsur-unsur yang bersifat spesifik ada pada diri subyek pengenal tersebut tidak ada.

Dalam keseluruhan proses pengetahuan ada dua hal penting, yaitu evidensi dan kepastian. Evidensi terletak pada fihak obyek, sedang kepastian ada pada fihak subyek. Evidensi dapat dimengerti sebagai daya obyek untuk menampakkan diri, sedang kepastian adalah keyakinan pada diri subyek bahwa yang dikenalnya adalah benar-benar obyek yang ingin diketahuinya. Keduanya perlu dilihat dari sudut kesatuan asli subyek dan obyek dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya.


Makin dekat bidang ilmu itu pada pengalaman manusia seutuhnya, makin besarlah kesatuan subyek dan obyek, dan makin besar pulalah peran subyek dalam kesatuan subyek-obyek tersebut. Dalam arti itu evidensi dan kepastian sangat diwarnai oleh subyektivitas. Sebaliknya, makin jauh bidang ilmu itu dari pengalaman manusia seutuhnya, makin kurang kesatuan antara subyek dan obyek, dan makin kuranglah pula peran subyek didalamnya. Dalam hal itu evidensi dan kepastian diwarnai oleh obyektivitas, yang ditentukan dari luar pengalaman.

2. Kebenaran berkedudukan dalam diri si pengenal. Kebenaran adalah kenyataan adanya ("being") yang menampakkan diri sampai masuk akal. Maka kebenaran dapat dimengerti sebagai penyamaan akal dengan kenyataan. Itu terjadi pada taraf inderawi atau pada taraf akal-budi, akan tetapi tidak pernah sampai pada kesamaan yang sempurna. Ilmu-ilmu empiris mencoba mengejar kesamaan itu dengan aneka cara yang khas ada pada ilmu itu. Ilmu-ilmu pasti tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran tersebut, tetapi ilmu-ilmu pasti dapat memberi sumbangan positif kepada ilmu-ilmu di luar ilmu itu untuk makin dekat kepada kebenaran sejati (apapun itu sesungguhnya).

Thomas Aquinas (seraya mengakui sumbangan para filsuf Yahudi dan Islam yang mendahuluinya) membedakan veritas ontologica (kebenaran ontologis) dari veritas logica (kebenaran logis). Yang pertama terdapat dalam kenyataan (entah spiritual maupun material) yang masih lepas dari gejala pengetahuan, meskipun ada kemungkinan bahwa akan diketahui atau dikenal. Yang kedua terikat kepada akal si pengenal. Yang kedua inilah kebenaran dalam arti sesungguhnya, yaitu penyamaan akal dengan kenyataan.

Adalah Descartes yang menambahkan kriterium bagi kebenaran. Cara untuk mengenal ada atau tidak adanya kebenaran ialah ada atau tidak adanya idea yang jelas dan terpilah-pilah mengenai sesuatu itu (idea clara et distincta). Maka Descartes menganjurkan penerapan sikap kesangsian radikal sebagai alat uji bagi kebenaran.

3. Patut dibahas langkah yang benar menuju kepada kebenaran pengetahuan (khususnya yang berkaitan dengan alam, termasuk manusia sebagai bagian dari alam). Misalnya, dalam meneliti gejala yang secara umum disebut "piring terbang" (kemungkinan kunjungan makhluk angkasa luar), "surga dan neraka" (benarkah ada?, dimana?), "kematian" (adakah hidup sesudah mati?, kemana jiwa manusia pergi?, apakah hanya di sekitar kita, tetapi kita tak mampu kontak dengannya?), metode apakah yang kiranya menjamin kebenaran pengetahuan yang dihasilkan?

Salah satu langkah yang patut dipertimbangkan adalah memanfaatkan metode logika deduktif, yang mengandalkan silogisme (penyimpulan). Tanpa menyinggung bahan yang dipakai sebagai titik tolak penerapan metode ini, terhadap gejala-gejala alami, Francis Bacon (1561-1626) yakin bahwa metode ini tidak cukup membawa kepada kebenaran karena "kepelikan alam jauh lebih besar daripada kepelikan argumen". Bacon, seperti halnya Galileo, memakai logika dalam rangka membentuk hipotesis, namun kebenaran masih harus diuji melalui pembuktian empiris. Dengan lain perkataan langkah yang tepat adalah gabungan antara metode logika-deduktif dan logika-induktif.

Namun Hume (1711-1776) mengingatkan bahwa logika-induktif tidak memiliki dasar teoritis sama sekali, bahkan bertentangan dengan salah satu hukum logika, bahwa kesimpulan tidak dapat lebih luas daripada kedua premisnya. Maka Hume menegaskan bahwa pengetahuan empiris tidak akan dapat melampaui wilayah yang dicakup oleh data pengamatan yang terkumpul.

Sadar akan kritik Hume tersebut, Kant (1724-1804) sampai kepada pendirian, bahwa obyek itu sendiri ("das Ding an sich") tidak dapat dikenal manusia. Yang bisa dikenal hanya yang terjadi dalam diri si pengenal, yaitu kesan-kesan yang diterimanya dari luar dan diatur ke dalam katagori-katagori a-priori akal budi. Hukum-hukum alam hanya ada dalam diri manusia, sedang yang ada di luar manusia tidak akan diketahui oleh manusia. Ini sejalan dengan Einstein, yang pada dasarnya menegaskan, bahwa "satu-satunya justifikasi bagi pengetahuan kita tentang alam raya, termasuk sistem-sistem dalam alam raya, ialah bahwa itu semua hanya merupakan akumulasi dari pengalaman kita; -- di luarnya kita tidak memiliki legitimasi."

Sepakat dengan Hume akan cacat dari metode induksi, John Stuart Mill (1806-1873) mengakui sahnya metode deduksi. Namun dari manakah pengetahuan premis mayor yang bersifat umum itu yang tidak didapatkan dari pengamatan? Premis mayor yang hanya mengawang tanpa melalui pengamatan dan tanpa kepastian tidak ada gunanya. Maka Mill mengusulkan suatu proses yang membawa premis mayor secara bertahap makin menjadi pasti.

Mustahilnya pembenaran atas proses induksi, membawa Karl Raimund Popper (1902-?) kepada prinsip falsifiabilitas: pada dasarnya hukum-hukum alam dapat dibuktikan salah. Pada dasarnya lebih mudah membuktikan kesalahan sebuah daripada membuktikan kebenarannya. Maka kebenaran hukum alam, teori atau pengetahuan hanya dapat dicapai melalui usaha pengujian sampai tidak ada alat uji yang mampu membuktikan kesalahan hukum alam, teori atau pengetahuan itu. Proses eliminasi yang makin keras mengurangi kadar kesalahan dan kekeliruan, dan dengan itu makin mendekati kebenaran obyektif.

Implisit, Popper menegaskan kesementaraan ilmu dan pengetahuan; sementara dalam arti bahwa ilmu pengetahuan itu terbuka untuk dibuktikan salah. Jika tidak begitu, ilmu dan pengetahuan merosot menjadi ideologi (yang tertutup), dan itu, menurut Poper, patut dikutuk sebagai berbahaya bagi umat manusia.

4. Jika kita membatasi diri pada ilmu pengetahuan alam dan mencoba bertanya tentang realitas-realitas (sejauh itu dapat disebut realitas) "piring terbang", "surga dan neraka", "jin dan malaikat" dan sebagainya, mengapa ilmu pengetahuan kayaknya begitu terbatas kemampuannya? Dengan peralatan canggih seperti dimiliki manusia dewasa ini mengapa hanya sedikit (itupun jika ada) yang dapat diperoleh? Apakah ada harapan dikemudian hari misteri yang menyelimuti realitas itu menjadi terungkap, dan kebenarannya (atau ketidak-benarannya) dengan tegas ditegakkan?

Patutlah dicermati bahwa khazanah pengetahuan kita tentang fisika (dan kimia) bertumpu pada teori tentang materi dan energi, ruang dan waktu. Mengenai materi dapat disebut teori atom Niels Bohr, yang pada dasarnya menggambarkan atom sebagai terdiri atas inti atom dan elektron yang bergerak mengelilinginya dalam orbit-orbit yang pasti. Energi (termasuk energi dalam transisi) digambarkan dalam wawasan ini. Kitapun mengenal kesetaraan materi dan energi, yang pertama dicetuskan oleh Einstein. Lalu apa itu materi, dan apakah pula energi? Pertanyaan itu masih aktual dalam penelitian fisika dewasa ini.

Tinjaulah atom Hidrogen, yang hanya terdiri atas inti bermuatan positif dan satu elektron bermuatan negatif, dan tidak ada lainnya. Perhitungan sederhana dengan hukum Coulomb membuat seorang kepada gambaran sebagai berikut: Jika inti positif itu dibayangkan sebesar bola tenis yang berada di pusat kota Yogyakarta, maka elektron itu akan berupa kelereng yang mengelilinginya pada orbit sekitar 30 kilometer daripadanya (... di Klaten!). Dapatkah dikatakan bahwa terdapat "ruang ketiadaan" diantara Yogya dan Klaten itu? Maka apakah sebenarnya ruang-ketiadaan itu? Tentulah bukan materi ...

Dalam konteks seperti itu jika dikatakan bahwa alam raya ini berkembang dari suatu Ledakan Besar pada suatu saat yang disebut awal penciptaan, menjadi seperti digambarkan oleh para astronom, -- apa makna semua itu? Allah, Sang Pencipta semua ini, ada di mana?

Dalam konteks seperti itu pula dapat ditanyakan: pada hakekatnya apa itu roh? Kelahiran kiranya dapat digambarkan. Kematian dapat pula digambarkan, sekurang-kurangnya dari kenyataan inderawi tentang seseorang yang mati 1000 hari yang lalu dan kenyataannya sekarang jika kuburnya digali. Namun apakah yang dapat dikatakan tentang roh, dan lebih khusus lagi roh orang itu? Ada di mana rohnya?

Dengan bertanya "di mana?" pada dasarnya seorang telah memaksakan konsep fisika kepada gejala (jika boleh disebut demikian) yang bukan urusan fisika. Atau apakah gejala itu akan berada dalam wilayah ilmu fisika, suatu hari di masa depan? Jawaban atas pertanyaan ini rasanya tidak dapat diberikan, juga oleh para fisikawan sendiri. Kebenaran dalam pengetahuan kita akan alam raya (yang disebut fisika itu) tampak begitu terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar